Bantu Muslim Uighur, CENTRIS Desak Indonesia Bersikap Agar PBB Bisa Masuk ke Xinjiang
The United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR), badan PBB untuk Hal Azazi Manusia (HAM) membuat laporan perihal tidak ada kemajuan dalam upaya PBB mencari akses yang berarti ke daerah otonomi Uighur di wilayah Xinjiang China.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Majelis Tinggi OHCHR, Michelle Bachelet, yang mengaku terus menyelesaikan tinjauan atas informasi masih terus terjadinya dugaan pelanggaraan berat HAM terhadap etnis Uighur di Xinjiang oleh otoritas China.
Melihat hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta negara-negara dunia khususnya Indonesia untuk mendesak China membuka seluruh akses bagi PBB untuk menjalankan mandat dan fungsi mereka sebagai lembaga perdamaian dunia.
“Segenap negara harus bersatu padu menekan China untuk membuka seluruh akses bagi PBB. Seyogianya Tiongkok bebaskan saja PBB masuk, jika benar tidak ada pelanggaran HAM di sana,” kata peneliti senior CENTRIS, AB Solissa saat dihubungi wartawan, Rabu, (5/1/2022).
Apalagi, Parlemen Eropa dalam laporan penting yang mereka sampaikan bulan September 2021 lalu, membuat sejumlah rekomendasi terperinci kepada UE dan negara-negara anggotanya termasuk seruan untuk mengadopsi sanksi yang ditargetkan terhadap pejabat senior China yang bertanggung jawab atas pelanggaran di Hong Kong dan Xinjiang.
Parlemen Eropa secara bulat menyerukan koordinasi yang lebih baik negara-negara anggotanya untuk melawan pengaruh global China dan agenda anti-hak dengan memboikot diplomatik Olimpiade Musim Dingin mendatang di Beijing.
“Kami menilai seruan parlemen Eropa untuk memboikot olimpiade musim dingin Beijing sudah tepat, untuk menunjukkan keseriusan dan konsistensi negara-negara dunia yang peduli dengan penegakan HAM di China,” lanjut AB Solissa.
Selain itu, lanjut AB Solissa, pada Oktober 2021 lalu sudah ada 43 negara yang resmi meminta China untuk memastikan penghormatan penuh terhadap aturan hukum bagi komunitas muslim Uighur di Xinjiang, yang dirumuskan dalam deklarasi mereka bacakan didepan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Deklarasi tersebut, ditandatangani oleh Amerika Serikat serta beberapa negara anggota Eropa dan Asia dan lainnya, memuat point yang menitikberatkan dugaan kejahatan kemanusiaan China atas serangkaian pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uighur, termasuk penyiksaan, sterilisasi paksa, dan penghilangan paksa.
Organisasi HAM Amnesty Internasional juga sebelumnya telah menerbitkan laporan yang menyatakan China melakukan kejahatan kemanusiaan di Xinjiang dan memaparkan bukti kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pemenjaraan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap etnis Uighur, Kazakh dan muslim lainnya.
Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard pun menuding China telah menciptakan neraka dunia dalam skala yang mengejutkan, dimana kekejian Tiongkok tentunya menggugah hati nurani umat manusia.
“Dalam laporan Amnesty Internasional disebut banyak orang telah menjadi sasaran cuci otak, penyiksaan, pelecehan hingga pemerkosaan dan perlakuan merendahkan lainnya di kamp-kamp internal, sementara jutaan warga lainnya hidup dalam ketakutan di tengah pengawasan aparat yang luas," papar AB Solissa.
CENTRIS juga menilai alasan kotra-terorisme yang sempat dikemukakan China tidak logis untuk dijadikan alasan penangkapan apalagi penahanan massal terhadap etnis Uighur.
Melihat isi laporan Amnesty Internasional, lanjut AB Solissa, pemerintah China jelas-jelas menunjukkan niat menargetkan populasi muslim Uighur di Xinjiang berdasarkan agama dan etnis serta penggunaan kekerasan dan intimidasi yang parah untuk membasmi keyakinan agama Islam serta praktik etnobudaya Muslim Turki.
“Apa yang dilakukan China, sama dengan kejahatan kemanusiaan zionis Israel terhadap warga Palestina yang menjurus pada praktik genosida. Ini Tiongkok sepertinya mau menghapus peradaban muslim Uighur di negara mereka,” ucap AB Solissa.
Dalam laporannya, Amnesty International meyakini etnis Uighur, Kazakh dan muslim lainnya dibawa ke jaringan kamp di Xinjiang untuk indoktrinasi tanpa henti serta penyiksaan fisik dan psikologis.
Metode penyiksaan itu meliputi pemukulan, setrum listrik, tekanan mental, pengekangan yang melanggar hukum termasuk dibelenggu di 'kursi harimau', larangan tidur, digantung di dinding, didinginkan di suhu yang sangat dingin, dan dikurung tersendiri.
'Kursi harimau' dikatakan sebagai kursi baja dengan borgol tangan dan kaki yang dirancang untuk membelenggu tubuh di tempatnya. Menurut sejumlah mantan tahanan, mereka dipaksa untuk melihat orang lain terkunci tak bergerak di kursi itu selama berjam-jam, bahkan berhari-hari.
“Bukan itu saja, dalam beberapa bulan terakhir ada laporan tentang aktivis dan jurnalis yang ditangkap dengan tuduhan yang tidak jelas, ditahan, dihukum dan disiksa atau diperlakukan dengan buruk,” terang AB Solissa.
Dengan tuduhan menyebarkan publikasi yang menghasut dan membawa surat perintah penyitaan dari pengadilan setempat, akhir Desember 2021 lalu (29/12) Kepolisian Hongkong menggerebek kantor media lokal pro-demokrasi Stand News, menangkap pemimpin redaksi, empat mantan anggota dewan yang menjadi staf termasuk bintang pop Hong Kong Denise Ho, pengacara Margaret Ng, Christine Fang, dan Chow Tat-chi.
Stand News adalah perusahaan media Hong Kong Kong kedua yang menjadi target penggeledahan pihak berwenang setelah Apple Daily yang akhirnya ditutup pada Juni lalu. Aset Apple Daily pun dibekukan di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional yang digagas China.
“Hong Kong semula menjadi basis pusat koresponden media regional bahkan internasional, peringkat kebebasan pers terus turun drastis sejak China memperketat sensor dan kontrol diwilayah itu selalu menggunakan dalih ‘merusak kekuasaan negara’. Jujur kita khawatir nasib temen-temen pers di tahanan,” tutur AB Solissa.
Aktivis pro-demokrasi Hong Kong yang tengah berada di pengasingan, Nathan Law, menggambarkan penganiayaan terhadap media dan jurnalis adalah benar.
Ia menuturkan China berupaya menghapus semua ruang untuk oposisi dan perbedaan pendapat. Menurut Human Rights Watch, kondisi di fasilitas penahanan dan penjara China buruk, nutrisi makanan yang minim dan perawatan kesehatan yang jauh dari kata sempurna.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah warga negara China yang dituduh sebagai pembangkang oleh Tiongkok dan aktivis yang getol menyuarakan penderitaan Muslim Uighur, dikabarkan sakit parah dalam tahanan, tidak mendapat perawatan yang memadai hingga meninggal baik dalam tahanan atau tidak lama setelah dibebaskan.
“Satu kata, masyarakat dunia boikot olimpiade musim dingin di Beijing sebelum China menghentikan seluruh aktifitas pelanggaran HAM di sana.” Pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: