Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tak Punya Mekanisme Penyesuaian Harga, Pertamina Terancam Pendarahan

        Tak Punya Mekanisme Penyesuaian Harga, Pertamina Terancam Pendarahan Kredit Foto: Pertamina
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, menilai Pertamina Patra Niaga akan terancam merugi lantaran tidak mempunyai mekanisme penyesuaian harga yang bersifat otomatis.

        Hal ini dikatakan terkait kenaikan harga minyak dunia. Baca Juga: Pertamina Tuntaskan 9 Milestone, Proyek Pengembangan Kilang Balikpapan Lampaui Target

        "Karena tidak ada regulasi pendukungnya. Pertamina Patra Niaga sub holding ritel Pertamina bisa mengalami kesulitan keuangan karena menjalankan bisnis BBM yang terpaksa membuatnya rugi," katanya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/1/2022).

        Lanjutnya, ia juga menilai kenaikan harga minyak mentah yang mencapai 75-80 dolar per barel terbukti tidak terpengaruh dengan Covid-19.

        Menurut dia, Pertamina sebagai induk terancam akan mengalami pendarahan keuangan yang disebabkan oleh utang, pembayaran bunga dan utang jatuh tempo, kemudian piutang subsidi dan pergantian selisih harga yang belum dibayar oleh pemerintah, serta biaya atas operasi anak perusahaan yang merugi.  Baca Juga: Menuju Tahun 2045, Minyak Sawit Akan Semakin Cemerlang

        "Sementara patra niaga meskipun rugi tidak dapat dibubarkan, karena bertanggung jawab mendistribusikan BBM ke seluruh negeri," ujarnya.

        Lebih lanjut, ia menilai Pertamina Patra Niaga terpaksa tidak bisa fleksibel dalam menyesuaikan harga jual BBM non subsidi.

        "Sudah lama berkembang 'isu' bahwa Pertamina Patra Niaga terpaksa menjual rugi BBM non subsidi jenis pertalite dan pertamax 92. Pertalite adalah jenis BBM yang volumenya paling banyak dikonsumsi rakyat, namun harga jualnya konon di bawah harga pokok produksi," ujarnya.

        Tak hanya itu, ia juga menyoroti Pertalite dan pertamax 92 yang dipersepsikan sebagai BBM subsidi.

        "Harga jual pertalite dan pertamax 92 tidak bisa mengikuti pasar yang harga berlaku sebagaimana harga BBM non subsidi yang dijual SPBU swasta dan asing di indonesia. Alasannya mungkin politik, dan Pertamina Patra Niaga dibiarkan tekor besar," katanya.

        "Mengingat penjualan BBM pertalite sangat besar, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah agar menjadikan pertalite sebagai BBM bersubsidi. Dengan demikian selisih harga dengan pasar menjadi tanggung jawab APBN," ucapnya. 

        Sementara itu, ia menambahkan, jika pertalite dijadikan BBM subsidi maka ada kesempatan pemerintah menghapus premium.

        Mengingat premium telah dianggap sebagai bahan bakar kotor yang mencemari udara.

        Penghapusan premium sangat penting bagi Presiden Jokowi sebagai G20 presidency dan Pemimpin COP 26. Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi co2.

        "Ini juga akan menjadi bagian dari prestasi Pertamina, meningkatkan peringkat utang dan menurunkan resiko utang Pertamina," tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: