Perusahaan Harus Segera Adopsi Cloud AI dan ML, 5 Hal ini Alasannya
Seiring perkembangan teknologi digital, perusahaan saat ini harus benar-benar berinvestasi di bidang cloud, Artificial Inteligence (AI) dan Machine Learning (ML), karena sangat berkontribusi dalam keberlangsungan perusahaan di masa depan.
Demikian diungkapkan oleh Davian Omas, Managing Director, Oracle Indonesia bersama media, Kamis (20/1/2022). Dia menambahkan, tiga hal tersebut berlaku hampir di semua sektor mulai dari jasa keuangan hingga manufakturing. Penggunaannya juga mulai merambah berbagai aktivitas mulai dari industri makanan, manufakturing, kurir, logistik, ritel.
Di Indonesia sendiri, lanjut Davian, teknologi tersebut sudah mulai diadopsi oleh sejumlah perusahaan, seperti penggunaan teknologi robotic dalam kegiatan produksi. Adapun penerapan AI dan ML, itu mulai dapat dilihat dalam aktivitas sehari-hari, seperti saat melakukan pencarian di mesin pencari, selalu memberikan sesuatu yang tepat dengan yang kita inginkan.
Lebih lanjut Davian menjelaskan, bagi perusahaan yang ingin menciptakan masa depan organisasi berbasis teknologi pada tahun 2022 dan seterusnya, prioritas utama bisnis apa saja yang perlu mereka pertimbangkan. Menurutnya ada lima kunci utama yang diperlukan oleh perusahaan dalam menciptakan kesuksesan di masa depan.
Pertama, berinvestasi di IT atau cloud secara jangka panjang, atau transformasi. Pergeseran ke komputasi awan atau cloud, termasuk teknologi otonom itu sangat penting. Di sektor swasta, sudah ada satu atau lebih digital cloud-centric di setiap industri, baik itu ritel, media, hiburan, perjalanan, pendidikan, logistik, layanan keuangan, perawatan kesehatan, elektronik konsumen, atau transportasi.
Salah satu contohnya adalah Singtel, salah satu grup komunikasi terkemuka di Asia, yang bermitra dengan unicorn digital Grab untuk menawarkan layanan perbankan kepada pelanggan ritel dan korporat di Singapura. Ke depannya kita akan lebih sering melihat lebih banyak kemitraan digital yang tidak konvensional di berbagai sektor.
Semakin banyak kita mendengar dari pelanggan tentang bagaimana cloud telah meringankan pekerjaan teknis seperti untuk keamanan sistem, pemeliharaan, dll, sehingga mereka akan dapat lebih fokus pada pengembangan produk dan layanan digital yang unik dan menguntungkan.
Selain itu, sudah jelas bahwa cloud adalah fasilitator bisnis berbasis data, yang menghadirkan alat baru (kecerdasan buatan) AI dan mengadakan pembelajaran mesin (ML) dengan hanya menggunakan ujung jari namun dapat membawa perubahan signifikan pada bisnis.
Kedua, AI dan ML jadi kompetensi inti untuk jadi perusahaan digital terkemuka, dan untuk sustainable. Sebab, Machine Learning (ML) dan Artifical Inteligent (AI) akan menjadi kompetensi inti bagi perusahaan digital terkemuka.
Dengan besarnya data yang ada saat ini, perusahaan terus tenggelam dalam data, algoritme ML dan AI di lain sisi menjadi penyelamat, membantu perusahaan menganalisa dan terus mengambil pelajaran dari data tersebut untuk meningkatkan pengambilan keputusan serta menginformasikan berbagai tindakan selanjutnya.
Selain itu, perusahaan menyadari akan nilai dari memanfaatkan infrastruktur dan aplikasi cloud dengan algoritme ML dan AI bawaan.
Tidak heran Forrester memperkirakan bahwa satu dari lima organisasi akan menggandakan apa yang disebutnya “AI di dalam”—AI dan ML yang telah tertanam dalam sistem dan praktik operasional mereka. Pada tahun 2025, Gartner memperkirakan, 10% perusahaan yang telah menerapkan praktik terbaik teknik ML/AI akan menghasilkan setidaknya tiga kali lebih banyak mendapatkan nilai dari praktik tersebut daripada 90% perusahaan yang tidak. Raih keuntungan penggerak awal.
Ketiga, sustainability, dimana pelanggan dan pihak lain akan mengevaluasi perusahaan melalui lensa keberlanjutan (sustainability). Saat pelanggan membeli barang dan jasa, mengukur calon pemberi kerja dan bahkan berinvestasi di saham, orang-orang dari segala usia akan semakin mengevaluasi rekam jejak dan komitmen keberlanjutan perusahaan kita.
Maka banyak perusahaan mulai melakukan hal yang sama dengan pemasok dan mitra mereka, meminta mereka—dan diri mereka sendiri—bertanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon mereka, beralih ke sumber energi terbarukan, mengalihkan limbah dari tempat pembuangan sampah, dan mengadopsi praktik terbaik lingkungan lainnya.
Pada tahun 2022, akan menjadi kewajiban setiap perusahaan untuk menyusun dan menjalankan strategi keberlanjutan yang komprehensif, dimana suatu tatanan tinggi akan membutuhkan kepemimpinan yang lebih terfokus, terutama di APAC.
Sementara Forrester melaporkan bahwa di antara perusahaan Fortune Global 200, 92% di Amerika Utara dan 81% di EMEA telah menunjuk pemimpin keberlanjutan di VP, direktur, atau tingkat eksekutif lainnya, hanya 26% di APAC yang memilikinya.
Keempat, pengusaha yang tidak menyesuaikan pengembangan karir dan praktik perekrutan mereka dengan dunia pascapandemi akan tertinggal dari mereka yang melakukannya. Mempekerjakan dan mempertahankan orang-orang yang terampil dan berbakat terus menjadi prioritas No. 1 dari hampir setiap perusahaan, menurut berbagai macam survey yang telah dilakukan.
Namun ‘Pengunduran Diri’ yang dipicu oleh pandemi global menunjukkan bahwa pada tahun 2022 para pemberi kerja akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuk mereka termasuk lebih proaktif dalam memetakan jalur karier untuk orang-orang perusahaan yang paling berharga dan bersedia mendengarkan kekhawatiran mereka tentang keseimbangan kehidupan kerja, fleksibilitas tempat kerja , dan masalah lainnya.
Kelima, disrupsi rantai pasokan akan menjadi “tidak pernah normal”. Pandemi terus memaksa perencana rantai pasokan untuk menilai kembali prioritas mereka dan bagaimana mereka menerapkan teknologi manajemen rantai pasokan (SCM) terbaru, karena "tidak pernah normal" menjadi normal baru.
Sebagai contoh, dulu sistem inventaris yang "tepat waktu" adalah praktik terbaik pra-pandemi bagi sebagian besar perusahaan, saat ini inventaris dengan "persediaan yang aman"—atau apa yang dikenal sebagai manajemen inventaris "berjaga-jaga"—dianggap sebagai hal yang praktik yang normal saat ini.
Sebab, meskipun teknologi rantai pasokan yang tercanggih sekalipun tidak akan sepenuhnya mengantisipasi tingkat guncangan pasar seperti pandemi global, teknologi tersebut dapat membantu perusahaan mengetahui keseimbangan stok pengaman yang tepat.
“Ketika perilaku pembelian orang bergeser—terutama dari saluran fisik ke saluran online—perusahaan perlu mengidentifikasi dan bereaksi terhadap perubahan tersebut dan merencanakan “efek domino” di seluruh pabrik, pusat data, dan rantai pasokan yang diperluas,” jelas Davian.
Dengan mempertimbangkan prioritas utama ini dalam konteks dampak bisnis, peluang dan tantangan, maka bisnis di Indonesia akan lebih mampu meningkatkan produktifitas mereka dan membantu menggiatkan kembali perkoniman nasional yang baru.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: