Jelang perhelatan Olimpiade Beijing 2022, Human Right Watch yang berbasis di New York Amerika Serikat kembali mengingatkn negara-negara dunia akan tindakan yang dilakukan China di Xinjiang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hal ini disampaikan oleh Human Right Watch dalam Laporan Dunia 2022, yang mereka lansir dari New York Amerika Serikat diawal tahun ini.
Isi laporan tersebut, antara lain mengupas tindakan Negara China yang diambil di Xinjiang secara khusus, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan pelanggaran termasuk penahanan massal dan penghilangan paksa.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS), meminta masyarakat dunia khususnya Indonesia untuk terus menyuarakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan China terhadap Muslim Uighur dan minoritas lainnya.
“Melansir laporan Human Right Watch, disebutkan Pejabat China juga melakukan penyiksaan, pengawasan massal, penganiayaan budaya dan agama, kerja paksa dan pemisahan keluarga muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya,” kata peneliti senior CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan, Senin, (24/1/2022).
Bukan hanya itu saja, dengan alasan pembatasan penyebaran Covid-19, arus informasi dan komunikasi dari wilayah tersebut sebagian besar telah diblokir, dimana pihak berwenang mempertahankan kontrol ketat atas informasi, dan akses ke wilayah yang sudah diblokir.
Namun, beberapa orang Uyghur yang ditahan oleh polisi dipastikan telah dipenjara, termasuk akademisi terkemuka Rahile Dawut, meskipun dugaan kejahatannya termasuk lamanya hukuman dan lokasi penahanannya masih belum jelas hingga saat ini.
“Ada juga laporan tentang orang Uyghur yang sekarat dalam tahanan, termasuk peneliti biotek Mihriay Erkin, 31, pengusaha Yaqub Haji, 45, dan penyair dan penerbit Haji Mirzahid Kerimi, 82,” tutur AB Solissa.
Sementara itu, otoritas China di wilayah Tibet terus membatasi kebebasan beragama, berekspresi dan berkumpul etnis minoritas seperti Muslim Uighur.
Kontrol yang diperketat atas komunikasi online selama tahun lalu, menyebabkan semakin banyak penahanan pada tahun 2021 dimana Orang Tibet yang ketahuan berkomunikasi dengan orang-orang di luar China, akan dihukum keras, terlepas dari konten komunikasi mereka.
Human Right Watch juga mengupas kebijakan asimilasi paksa juga berlanjut sepanjang tahun, dengan kelas bahasa Mandarin diwajibkan di sekolah-sekolah di daerah etnis minoritas pada tahun 2021.
Bahkan taman kanak-kanak diperintahkan untuk menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar, kata Human Rights Watch.
“Yang tak kalah mengerikan dari laporan Itu, disebutkan setidaknya delapan tahanan atau tersangka Tibet dibebaskan karena kesehatan yang buruk, beberapa karena penyiksaan, empat di antaranya meninggal segera setelah itu, meskipun jumlah sebenarnya tidak diketahui karena kontrol informasi yang ekstrem di Tibet,” ucap AB Solissa.
Pemerintah China telah menggunakan pandemi Covid-19 untuk menekan kebebasan bergerak dan kebebasan berekspresi di seluruh negeri, dimana kami melihat semakin sulit bagi jurnalis, diplomat, dan aktivis independen untuk bergerak ke seluruh negeri di China.
“Jika pemerintah China tidak menyembunyikan apa pun di dataran tinggi Tibet dan Xinjiang, seharusnya mereka membuka kran kelur masuk arus informasi dan komunikasi. Patut dicurigai kejahatan kemanusiaan memang tengah berlangsung di sana,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: