Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Warga Dibuat Heboh dengan Isu Chemical Trails di Langit Jakarta, BMKG Ungkap Hal Penting Ini...

        Warga Dibuat Heboh dengan Isu Chemical Trails di Langit Jakarta, BMKG Ungkap Hal Penting Ini... Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menepis kabar hoaks yang ramai di media sosial mengenai pesawat yang diduga menyebarkan chemical trails atau jejak kimia di langit Jakarta yang menyebabkan COVID-19 varian Omicron.

        Kabar hoaks (hoax) itu menyebutkan narasi bahwa diduga pesawat terbang menyebarkan jejak kimia di langit, menimbulkan garis awan yang tampak pada Senin dini hari, 14 Februari 2022.

        Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan Edison Kurniawan saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu, 16 Februari, menyatakan fenomena itu merupakan contrails, kependekan dari condensation trails, atau jejak kondensasi. "Itu fenomena alam yang umum terjadi," ujar Edison.

        Contrails, kata Edison, adalah fenomena alam yang terjadi saat pesawat terbang tinggi di angkasa. Pesawat terbang seolah mengeluarkan berkas putih seperti asap dari mesinnya dan membentuk garis lintasan atau jejak di belakang pesawat terbang yang terlihat cukup indah dari permukaan Bumi.

        Baca Juga: Nah Panjang Dah Nih Urusan, Kemenaker Ngaku Terkait JHT Sudah Direstui Presiden Jokowi

        "Banyak orang mengira bahwa jejak asap itu dengan sengaja dikeluarkan oleh pilot sebagai tanda tertentu. Padahal sebenarnya itu merupakan peristiwa alam biasa sebagai akibat proses kimia-fisika antara gas buang yang keluar dari mesin (engine) pesawat dengan suhu udara sekitarnya," kata Edison.

        Berdasarkan hasil riset, diketahui bahwa pada ketinggian lebih dari 8.000 meter atau 26.000 kaki di atas permukaan laut, suhu udaranya sangat dingin dan bisa mencapai suhu -40 sampai dengan -50 derajat Celsius.

        Di sisi lain, bahan bakar pesawat mengandung senyawa hidrokarbon yang terdiri dari zat hidrogen dan karbon. Dalam proses pembakaran di mesin pesawat hidro-karbon dibuang oleh mesin pesawat.

        Karbon sisa pembakaran menciptakan asap karbon dioksida (CO2) sedangkan hidrogen bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkan H2O dalam bentuk uap air.

        Edison menjabarkan kondensasi atau pengembunan adalah perubahan wujud dari gas ke cair. Kondensasi terjadi ketika gas mengalami proses pendinginan sehingga menjadi cairan.

        Selain itu, kondensasi juga dapat terjadi jika gas dikompresi dengan tekanan yang tinggi sehingga menjadi cairan, atau mengalami kondensasi dari pendinginan dan kompresi. Cairan yang telah terkondensasi itu dikenal sebagai kondensat (condensate).

        "Jadi jika gas buang sisa pembakaran mesin pesawat itu ke luar dan bereaksi dengan udara sekitarnya yang suhunya lebih dingin, maka gas tersebut akan terkondensasi menjadi kondensat dan akhirnya menciptakan jejak atau berkas putih yang menyerupai awan Cirus," kata dia.

        Edison menjelaskan, kondensat yang terbentuk dapat berupa butiran mikroskopis air es halus menyerupai kabut, tapi dapat juga berbentuk kristal es kecil jika udara di sekitarnya sangat dingin.

        Baca Juga: Heboh! Anies Baswedan dan Ridwan Kamil Bentrok Adu Penalti di JIS, Messi Sampai Ikut “Dibawa-bawa!”

        Ada constrails yang segera menghilang, namun ada juga yang bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Lama atau tidaknya constrail itu menghilang sangat tergantung dari beberapa faktor, yakni perbedaan suhu yang cukup tinggi antara gas buang dan udara sekitarnya dan juga kecepatan angin.

        "Jika perbedaan suhu cukup tinggi dan kecepatan angin relatif cukup tinggi maka constrail akan lama bertahan, demikian pula sebaliknya. Constrail memengaruhi suhu Bumi, sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global meskipun tidak signifikan," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: