Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Untuk Hindari Risiko yang Menghantui, Asuransi Perdagangan Jadi Kebutuhan

        Untuk Hindari Risiko yang Menghantui, Asuransi Perdagangan Jadi Kebutuhan Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Industri beriorientasi ekspor mengalami peningkatan minat di Indonesia. Namun, ada risiko yang menghantui, seperti risikio finansial. Untuk itu, dibutuhkan asuransi perdagangan untuk memberikan perlindungan pada pelaku industri perdagangan, khususnya perdagangan ekspor.

        Hal ini disampaikan Direktur Utama PT Asuransi Asei Indonesia, Arie Surya Nugraha, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Millennial and Business Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) bertajuk Temu CEO episode ke-5 “Optimalisasi Pasar Ekspor Nasional Melalui Asuransi Perdagangan”, Sabtu malam (19/2/2022).

        Baca Juga: ILUNI UI Mewanti-Wanti Pembangunan IKN Jangan Sampai Mangkrak

        Arie menjelaskan, ekspor Indonesia mengalami peningkatan signifikan sekitar 40% pada tahun 2021 jika dibandingkan 2020. Ada 5 negara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia pada 2021, yakni: Jerman, Amerika Serikat, Malaysia, Republik Rakyat Tiongkok, dan Australia.

        “Semua negara memiliki asuransi seperti Asei guna memberikan proteksi pada kegiatan ekspor,” ujarnya.

        Asuransi perdagangan memiliki kecenderungan yang stabil dan bahkan 5-7 tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan premi. 

        Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan RI, pada tahun 2021 Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor cukup tinggi. Tahun 2021 juga merupakan tahun dengan nilai ekspor paling tinggi sepanjang sejarah. 

        Pemerintah pun telah berkomitmen meningkatkan kegiatan ekspor, salah satunya tercermin dengan penandatanganan MoU kerja sama antara Indonesia dan Uni Emirat Arab. 

        Arie menjelaskan, aktivitas perdagangan akan selalu memiliki risiko. Berangkat dari kacamata asuransi, risiko ditegaskan sebagi suatu kondisi ketidakpastian. Para eksportir akan menghadapi risiko komersil misalnya bangkrut, juga risiko politik seperti konflik negara, pembatasan kuota, pencabutan izin impor, dan larangan transfer. 

        "Risiko terbesar yang dihadapi eksportir adalah tidak menerima pembayaran dari pembeli,” ujarnya.

        Tantangan ekspor lainnya saat ini adalah adanya pandemi COVID-19, perubahan pasar, mekanisme baru pasar yang beralih ke digital, serta maraknya isu lingkungan. 

        Baca Juga: Genjot Ekspor, Kementan-Kemenperin Tingkatkan Kualitas Produk Pangan

        Meski demikian, Arie menilai, Indonesia memiliki banyak UMKM tapi tidak dibarengi dengan ekspor yang tinggi. Alasannya, UMKM memiliki keterbatasan akses pemodalan dan investasi serta hukum. 

        “Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mendampingi para pengusaha Indonesia untuk mewujudkan ekspor. Para pelaku UMKM juga harus memperhatikan fasilitas bantuan pembiayaan yang tersedia di Indonesia. Asei menawarkan proteksi bagi usaha yang ingin merintis kinerja ekspor,” jelasnya.

        Sementara itu, dalam perdagangan, pelaku indsutri ekspor harus memahami metode pembayaran perdagangan internasional karena di sini muncul risikonya, contohnya seperti dalam sistem pembayaran dengan letter of credit (LC).

        “Dari metode pembayaran ini kita bisa lihat di mana risikonya. Kalau letter of credit diterbitkan bank negara maju risikonya tidak ada tapi kalau LC ini dikeluarkan bank negara-negara nontradisional misalnya Afrika, penggunaan metode pembayaran LC ini memberikan risiko pada eksportir,” jelasnya.

        Asuransi perdagangan bekerja dengan mempersilakan eksportir melakukan ekspor. Risiko gagal bayar dari importir akan diambil alih asuransi. Tidak hanya gagal bayar, asuransi juga bisa menjamin risiko kerusakan barang saat dikirim. Arie pun mengingatkan agar selalu melihat risiko pada setiap aktivitas bisnis, caranya dengan mengidentifikasi risiko. 

        “Kita anallsis apakah risikonya bisa dikontrol atau tidak. Bisa dikurangi nggak? Kalau bisa kita lakukan mitigasinya. Salah satu mitigasi risiko tersebut adalah transfer risiko dari perusahaan ekspor kepada perusahaan asuransi,” ungkapnya.

        Menanggapi kondisi tersebut,  Ketua Umum ILUNI UI, Andre Rahadian, melihat perdagangan Indonesia harus ditingkatkan. Apalagi saat ini ada konsep revolusi 4.0, juga kondisi pandemi yang telah berlangsung dua tahun lebih yang menyebabkan banyak konsep-konsep e-commerce yang berjalan.

        “Kita mau mencoba mengambil kesempatan, mengajak teman-teman alumni UI untuk bisa tahu lebih banyak bagaimana menjadi eksportir yang berkelas dan sustainable,” katanya.

        Andre menjelaskan, ILUNI UI melalui Millennial and Business Center mencoba mengajak dan membangkitkan entrepreneurship di UI, khususnya pada alumni UI. 

        Salah satunya dengan menyelenggarakan Temu CEO dengan mengundang para tokoh entrepreneur, direktur, maupun pejabat C-level dari perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang berbagi kisah mereka dalam merintis usaha serta meraih kesuksesan dalam bidang mereka. 

        "Kita bekerja dengan banyak pihak. Pada Temu CEO kelima ini, kita juga kedatangan teman-teman dari Sekolah Ekspor,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Adrial Akbar

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: