Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Harga Tempe dan Daging Meroket, Seknas Jokowi Minta Pemerintah Tanggap Dengarkan Jeritan Pedagang

        Harga Tempe dan Daging Meroket, Seknas Jokowi Minta Pemerintah Tanggap Dengarkan Jeritan Pedagang Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Seknas Jokowi menilai pemogokan pelaku usaha kelas kecil dan menengah di sektor pangan seperti pelaku usaha tempe/tahu dan belakangan pedagang daging sapi pun berencana melakukan hal yang serupa. Pemogokan demi pemogokan tersebut harus menjadi perhatian yang serius pemerintah.

        "Kita tidak bisa membayangkan ketika rumah makan padang tidak ada lagi rendang, menu andalan selama ini. Belum lagi pedagang kuliner tradisional lain, seperti soto, rawon, sate maranggi, coto makassar, dan seterusnya. Pemogokan pelaku usaha komoditas pangan seolah seperti disrupsi," kata Sekretaris Dewan Pakar Seknas Jokowi, Todotua Pasaribu kepada Wartawan.

        Baca Juga: Seknas Jokowi: Perlu Terobosan Kebijakan Pertanian Untuk Hasilkan Produktivitas Keledai Nasional

        Todotua mencontohkan seperti model aksi mogok pelaku usaha tempe baru-baru ini dan pemogokan penjualan daging merupakan ekspresi jeritan hati para pedagang (daging), agar pemerintah tanggap.

        "Pemogokan dipicu harga daging yang terus melonjak, harga daging sapi naik dari kisaran Rp115 ribu hingga Rp125 ribu per kilogram (kg), sekarang menjadi Rp 160 ribu per kg. Dengan harga selevel ini, tidak ada konsumen yang mau beli, sehingga percuma saja bila tetap dipaksakan dijual, pedagang sudah jelas menanggung rugi, sekadar kembali modal pun tidak," tambahnya.

        Menurutnya, konsumen daging sapi adalah segmented, beda dengan tempe, yang mejadi makanan sejuta umat, karena harga yang lebih terjangkau.

        Namun dalam momen tertentu, rakyat kecil pun akan membeli daging, seperti pada saat puasa dan lebaran.

        "Pemerintah perlu memberi perhatian khusus pada komoditas pangan (termasuk daging), yang permintaannya akan naik pada musim tertentu seperti puasa dan lebaran. Perlu penetrasi dan kebijakan pemerintah agar harga daging tetap terjangkau rakyat di hari besar seperti itu, mengingat terkait sebuah tradisi," tambahnya.

        Meski demikian, ia memaklumi harga sejumlah bahan pangan belum sepenuhnya dapat dipenuhi dalam negeri, senantiasa dipengaruhi harga internasional, termasuk daging.

        "Oleh karena itu pemerintah dinilai perlu membenahi dan menata kembali kembali kebijakan di sektor pangan, agar aksi pemogokan-aksi pemogokan pelaku usaha tidak terulang kembali, dengan alasan yang sama, pedagang daging juga mogok setahun lalu (Januari 2021).

        "Daging misalnya, walaupun harganya relatif mahal bagi rakyat kebanyakan, namun kalau sampai hilang di pasaran sekian hari, masyarakat akan cemas juga," terangnya.

        Ia meyakinkan bahwa pangan yang berkualitas tetap harus tersedia, dan dapat diakses masyarakat, karena ini terkait kebutuhan gizi generasi baru. Apakah masyarakat kita cukup siap mengubah perilaku dalam hal pemenuhan protein hewani, yang biasanya mengonsumsi sekerat daging untuk kelengkapan gizi anak-anak, untuk kemudian digantikan sumber protein lain seperti telur ayam, ikan laut, ikan air tawar, hasil tambak dan daging unggas. Masih perlu waktu untuk mengubah pola makan, karena taruhannya adalah kualitas generasi yang akan datang.

        "Sesulit apa pun menurunkan harga daging, tetap harus ada tindakan. Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah, adalah mengatasi kenaikan harga daging dengan penetrasi pasar, kemudian memeriksa juga kondisi di hulu, yaitu para importir daging. Produksi daging sapi lokal masih jauh untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri," pungkasnya.

        Untuk itu, lanjut Todotua, Seknas Jokowi sendiri memandang aksi para pelaku usaha komoditas pangan akhir-akhir ini, bisa dibaca dalam perspektif demokrasi. Aksi mogok adalah bagian dari partisipasi politik rakyat, dalam mengekspresikan aspirasinya, dan ini dijamin konstitusi.

        "Dalam setiap aksi selalu muncul frasa “agar pemerintah tanggap”, artinya para pedagang ini memberi masukan pada pemerintah," terangnya.

        "Karena memberi masukan, setidaknya informasi, sudah selayaknya pemerintah merespons secara positif, bahwa jeritan para pelaku usaha adalah sebuah input, bukan resistensi. Kita percaya akan segera ada win-win solution, agar pelaku usaha bisa kembali melanjutkan ikhtiarnya, dan warga tidak bingung mencari bahan pangan yang dibutuhkan," jelasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: