Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menebak Sosok Intelektual Kelas Kambing di Balik Dorong-dorong Penundaan Pemilu

        Menebak Sosok Intelektual Kelas Kambing di Balik Dorong-dorong Penundaan Pemilu Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pihak-pihak yang mewacanakan penundaan pemilihan umum tidak hanya bisa dikatakan berasal dari tokoh yang berkuasa.

        Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan usulan penundaan Pemilu hanya bertujuan untuk melegitimasi apa yang diinginkan oleh penguasa.

        Bivitri bahkan memberi label aktor pengusul penundaan Pemilu dengan sebutan intelektual kelas kambing. 

        "Cukup banyak intelektual saya bilangnya intelektual tukang, tapi sebenarnya ada kata yang lebih kasar lagi ya, intelektual kelas kambing,” demikian kata Bivitri Susanti saat hadiri acara diskusi virtual Kedai Kopi, bertemakan Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda, Minggu (6/3).

        Bivitri menegaskan kelompok tersebut telah memberikan jalan keluar dengan menggampangkan perubahan konstitusi.

        Menurutnya, wacana penundaan Pemilu 2024 bukan hanya sekadar isu mengamandemen UUD 45, tapi lebih pada pengkhianatan konstitusi.

        “Karena konstitusi kita itu lagi-lagi bukan sekadar teks dan juga bukan sekadar matematika dengan adanya 50 persen dan 2/3 dan lain sebagainya, konstitusi adalah sebenarnya gagasan tentang pembatasan kekuasaan,” katanya.

        Dia menambahkan, munculnya gagasan pembatasan masa jabatan presiden lahir dari para tokoh bangsa yang berguru ke negeri barat. Dalam aturan itu, penguasa harus dibatasi melalui hukum aturan mainnya yang disepakati bersama.

        Dalam perspektif negara hukum, pembatasan kekuaasan itu dinamakan konstitusionalisme. Para pendiri sudah jauh-jauh hari menuliskan lantang dalam penjelasa Undang Undang Dasar 1945. 

        "Memang sekarang sudah diadopsi ke atas jadi Pasal 1 ayat 3 tentang Indonesia berdasarkan hukum,” ujarnya.

        Lebih lanjut, Bivitri menjelaskan bahwa dulu, penyebutan pembatasan kekuasaan lebih sederhana. Yakni pemerintahan didasarkan pada sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme. Semangat itulah yang diadopsi dalam konstitusi negara Indonesia.

        RMOL

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: