Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Prof Romli Endus Ada Dugaan Kejahatan Pemerintah di Pemilu 2024

Prof Romli Endus Ada Dugaan Kejahatan Pemerintah di Pemilu 2024 Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Guru besar hukum pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita menduga, kecurangan Pemilu 2024 sudah direncanakan sejak lama. Hal ini diduganya juga merupakan kejahatan pemerintah (goverment crime).

Meski demikian, ia meminta pihak berwenang segera membentuk tim independen, yang diisi orang-orang berintegritas. "Tim indivenden harus dibentuk untuk mengusut dugaan kejahatan Pemilu ini," katanya dalam diskusi publik bertajuk 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024, Sebuah Konspirasi Politik' di Sekretariat Barikade 98, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3).

Ia menilai Pilpres 2024 merupakan pesta demokrasi paling buruk dan banyak diwarnai dengan kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Bahkan, dalam tujuh Pemilu yang sudah diikutinya, pesta demokrasi kali ini yang paling  amburadul.

"Saya sudah tujuh kali ikut pemilu, saya lahir 44, jadi tahu. Ini yang paling amburadul. Biar KPU, Bawaslu, Polri mengatakan ini sudah lurus, ini kalau bahasa saya, ini govermental crime. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pertanyaannya siapa yang bisa mengadili?" kata Romli 

Prof Romli pun menekankan tentang pentingnya memperkuat Undang-Undang Pemilu. Terlebih, sanksi bagi penyelenggara Pemilu yang melanggar kurang tegas. 

"Karena ini cuma peringatan sanksi administratif. Bayangkan pelanggaran terhadap hak rakyat berdaulat hanya dengan administratif. Membunuh orang satu saja mati, ini membunuh demokrasi 270 juta jiwa dibunuh, dikorupsilah, ini korupsi suara dan sistematis, terstruktur, dan masif. Nah kalau dilihat dari sudut itu, ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Itu kena Undang-undang makar. Dia membuat persengkongkolan untuk meruntuhkan maruah negara," jelas Romli.

Ia mencontohkan, salah satu dugaan pengsengkongkolan tersebut yakni mengubah batas usia capres-cawapres. Padahal, lanjutnya, Undang-Undang Pemilu mengaturnya harusnya semata-mata menjaga kedaulatan rakyat.

Lebih lanjut Romli menyoroti tentang Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) yang diduga pelaksanannya bukan lagi bisa disebut pelanggaran, melainkan sudah tahap kejahatan. 

"Ini sistemnya yang terburu-buru, demokrasi kita belum siap, kenapa belum siap? 60 persen penduduk kita masih jauh dari standar pendidikan yang modern," ujarnya.

Di kesempatan yang sama, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus menyatakan, KPU menutup diri dari kritik publik dan tidak mengklarifikasi berbagai kecurigaan, sehingga kecurigaan publik itu. Bahkan, per hari ini sudah mengarah kepada suatu keyakinan bahwa Sirekap bisa jadi merupakan alat pembunuh demokrasi.

"Sebagian besar publik mulai tidak percaya terhadap Sirekap produk ITB ini. Bahkan akhir-akhir ini KPU sendiri mulai kehilangan kepercayaan terhadap Sirekap ini, dengan seringnya Sirekap ini mati atau dimatikan atau tidak digunakan," ucap Petrus.

Menurut Petrus, ketidakpercayaan publik terhadap Sirekap telah terjadi. Terlebih, KPU dan pimpinan ITB tidak transparan sejak proses pengadaan Sirekap hingga bagaimana proses bekerjanya Sirekap.

Terlebih, server Sirekap bisa berada di Singapura, Tiongkok dan Prancis serta kerja sama antara KPU dengan Alibaba Cloud yang merupakan pihak asing.

Petrus bersama TPDI telah dua kali melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu 2024 terkait Sirekap ke Bareskrim Polri. Namun, laporannya tersebut ditolak.

Padahal, kata Petrus, TPDI telah mengikuti semua arahan pihak Bareskrim saat laporan pertama ditolak. Pihak Bareskrim berpadangan, dugaan pelanggaran Pemilu merupakan kewenangan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

"Padahal, informasi yang mau disampaikan TPDI dan Perekat Nusantara adalah dugaan tindak pidana. Ini menyangkut pelanggaran hukum, menyangkut kejahatan politik tingkat tinggi, menyangkut kelangsungan kepemimpinan nasional," ujarnya.

Sentra Gakkumdu terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kejaksaan, dan kepolisian. Sentra Gakkumdu bertugas memproses kasus-kasus dugaan tindak pidana Pemilu.

"Kami sudah lampirkan surat yang diusulkan penyidik. Kami tidak rela dibawa ke Gakkumdu atau Bawaslu, karena ini masalah besar," ucap Petrus.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: