Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Gegara Perang Rusia-Ukraina, BI Revisi Proyeksi Ekonomi Global jadi 3,2%

        Gegara Perang Rusia-Ukraina, BI Revisi Proyeksi Ekonomi Global jadi 3,2% Kredit Foto: Fajar Sulaiman
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, perbaikan ekonomi dunia berlanjut namun berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, disertai ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat, seiring dengan eskalasi ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina. Bahkan bila ketegangan antara Rusia-Ukraina terus berlanjut bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi global hanya dapat tumbuh 3,2%.

        "Dari sisi pertumbuhan ekonomi dunia tentu saja berdampak pada menurunnya proyeksi ekonomi global yang semula kami perkirakan 4,4% bisa turun menjadi 4,2%, bahkan kalau berlanjut terus bisa turun ke 3,2%," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis (17/3/2022).

        Menurutnya, eskalasi ketegangan geopolitik yang diikuti dengan pengenaan sanksi berbagai negara terhadap Rusia mempengaruhi transaksi perdagangan, pergerakan harga komoditas, dan pasar keuangan global, di tengah penyebaran Covid-19 yang mulai mereda.

        "Pertumbuhan berbagai negara, seperti Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang, Tiongkok, dan India berpotensi lebih rendah dari proyeksi sebelumnya," sebutnya. Baca Juga: Dampak Perang Rusia-Ukraina, Sri Mulyani Sebut Indonesia Perlu Percepat Pemulihan Ekonomi

        Kemudian, volume perdagangan dunia juga berpotensi lebih rendah dari prakiraan sebelumnya sejalan dengan risiko tertahannya perbaikan perekonomian global dan gangguan rantai pasokan yang masih berlangsung.

        Harga komoditas global meningkat, termasuk komoditas energi, pangan, dan logam, sehingga memberikan tekanan pada inflasi global.

        "Eskalasi ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina tersebut menambah ketidakpastian pasar keuangan global, disamping karena kenaikan suku bunga bank sentral AS dan percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju lainnya, sebagai respons terhadap meningkatnya tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi," ucap Perry.

        Hal tersebut mengakibatkan terbatasnya aliran modal, seiring dengan risiko pembalikan arus modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset), dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: