Wacana Presiden Tiga Periode dan Tunda Pemilu Ternyata Sudah dari Tahun 2019 Diprediksi Najwa Shihab
Iklim politik di Indonesia tengah hangat dengan wacana penundaan Pemilu 2024 hingga presiden tiga periode. Sejumlah elite politik terang-terangan mengusulkan agar pemilu ditunda dua atau tiga tahun lagi.
Belakangan muncul di media sosial, sebuah video yang memperlihatkan sosok jurnalis ternama Najwa Shihab. Video itu disebut merupakan acara pada tiga tahun lalu, atau tepatnya pada 2019.
Baca Juga: Siasat Pendukung Pemilu Ditunda dari Elite Pemerintah dan Ketum Parpol Terbongkar, Jokowi Disebut...
Di mana dalam video itu, Najwa Shibab menyebut mulai banyak tokoh yang berani menggaungkan wacana presiden tiga periode.
"Upaya-upaya itu ada, tapi dengan bangga bilang kita mau presiden tiga periode, mengubah UUD untuk itu, rasa-rasanya dulu nggak ada yang berani selantang itu yah," katanya.
"Dan bahwa sekarang mereka tidak malu untuk bicara seperti itu, itu yang perlu diwaspadai," imbuh Najwa.
Banyak Kalangan Tegas Menolak
Video tersebut diunggah pada Kamis (24/3/2022).
Dalam video itu, awalnya Najwa Shihab berbicara soal kekritisan yang dianggap bukti bukan cinta negeri.
"....Kalau kita bersuara keras, itu artinya kita tidak pro kebaikan. Ketika kata-kata baik disematkan kepada kelompok tertentu. Dan yang tidak sama dengan orang itu, berarti tidak baik," ujar Najwa dalam video tersebut.
Lantas kemudian, ia bilang ketika ada upaya-upaya mengembalikan lagi Indonesia ke zaman sebelum reformasi itu yang harus betul-betul diwaspadai.
"Rasa-rasanya tak ada politisi seberani hari-hari ini lah. Tiga empat tahun yang lalu mana ada yang berani bilang presiden tiga periode, ya nggak sih," ujar dia.
"Mana ada yang berani bilang udah rakyat nggak usah dikasih kesempatan untuk memilih langsung," sambungnya.
Ia kemudian menegaskan bahwa upaya-upaya itu saat ini ada. Bahkan ada yang dengan bangga bilang "kita mau presiden tiga periode'.
Terkait wacana penundaan pemilu hingga presiden tiga periode mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, umumnya penundaan pemilu yakni dalam waktu bulanan, bukan tahunan.
Adapun penundaan pemilu terjadi dikarenakan memiliki alasaan kemanusiaan seperti bencana alam. Terkecuali penundaan pemilu dalam waktu tahunan, karena adanya perang.
"Kalau penundaan bulanan memang hitungannya memang karena alasan, kemanusiaan termasuk bencana alam, covid, pandemi. Tapi hitungannya ukurannya bulan, tidak ada penundaan karena alasan darurat sampai tahunan kecuali perang," ujar Titi dalam diskusi publik bertajuk "Meninjau Pandangan Publik dan Analisis Big Data soal Penundaan Pemilu' yang diadakan Perkumpulan Survei Opini Politik Indonesia (Persepi), di kawasan Senayan, Kamis (17/3/2022).
Pernyataan Titi menyusul wacana penundaan pemilu kembali muncul usai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim berdasarkan big data pemerintah, sebanyak 110 juta warga setuju Pemilu 2024 ditunda. Angka tersebut diklaim Luhut merupakan pengguna media sosial.
Titi menyebut, umumnya penundaan Pemilu hingga tahunan, bertujuan untuk menghindari pembatasan masa jabatan dan memperpanjang masa jabatan.
"Kebanyakan penundaan pemilu yang sampai tahunan memang dimaksudkan untuk menghindari pembatasan masa jabatan dan memerpanjang masa jabatan. Ini tren globalnya," ucap dia.
Titi menjelaskan, bahwa mulanya muncul narasi Jokowi tiga periode, lalu kemudian menjadi isu penundaan pemilu.
Wacana soal penundaan Pemilu 2024 awalnya ketika itu disampaikan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada 9 Januari 2022. Namun pada 24 Januari, pemerintah, DPR, KPU telah sepakat bahwa Pemilu serentak digelar 14 Februari 2024.
Titi memaparkan perbedaan terkait jabatan presiden tiga periode dengan penundaan Pemilu. Pertama, jabatan presiden tiga periode itu membutuhkan amandemen UUD 1945.
Karena nggak mungkin tanpa amandemen, tapi dia harus juga kerja keras ikut pemilu. Karena yang menentukan itu hasil pemilu," kata dia.
Kemudian impresi dari jabatan presiden tiga periode yakni mengejar kekuasaan. Sebab jabatan presiden dua periode dianggap tidak cukup, sehingga harus mengikuti pemilu kembali untuk periode ketiga.
"Jadi ada tindakan aktif, untuk bisa di periode ketiga. Lalu daya jangkau insentifnya, manfaatnya, lebih sempit karena insentif hanya untuk presiden," imbuh Titi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: