CENTRIS Desak Indonesia Bersuara Bela Muslim Uighur untuk Fokus Beribadah di Bulan Puasa
Pihak berwenang China di Xinjiang, mulai membatasi aktivitas dan jumlah Muslim Uighur dalam menjalani ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan 2022.
Dilansir dari RFA (Radio Free Asia), Minggu (3/4), Pembatasan ini telah menuai kritik keras dari kelompok-kelompok hak asasi internasional dan masyarakat dunia, yang melihat tindakan otoritas Tiongkok sebagai upaya terbaru untuk mengurangi budaya Muslim Uighur di wilayah tersebut.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta negara-negara dunia khususnya Indonesia, untuk mendesak China agar memperbolehkan seluruh umat muslim khususnya etnis Uighur diwilayah mereka untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang dilindungi oleh undang-undang.
“Dalam konteks hak asasi manusia, jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat di dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. China ga boleh larang orang beribadah,” kata peneliti senior CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan, Senin (4/3/2022).
Selama bertahun-tahun, para pejabat otoritas China di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR,) telah melarang etnis Uighur dan Muslim Turki lainnya untuk sepenuhnya menjalankan ibadah Ramadan termasuk melarang pegawai negeri sipil, siswa dan guru berpuasa.
Beberapa komite lingkungan di Urumqi (dalam bahasa Cina, Wulumuqi) dan beberapa pejabat desa di prefektur Kashgar (Kashi) dan Hotan (Hetian) telah menerima pemberitahuan bahwa hanya 10-50 Muslim yang diizinkan untuk berpuasa selama Ramadan.
Mereka yang ingin berpuasa harus mendaftar ke pihak berwenang karena tidak boleh ada kesalahpahaman tentang kebijakan agama dari Partai (Komunis China) dimana orang tua dan orang dewasa tanpa anak usia sekolah yang hanya diperbolehkan untuk berpuasa.
“Jika laporan RFA itu benar, China artinya telah melanggar Pasal 18 yang mengatur hak atas kebebasan beragama yakni hak untuk pindah agama dan hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah,” tutur AB Solissa.
Dalam laporan tersebut, disebutkan juga bahwa sistem atau kegiatan ini dirancang dengan dalih menghindari agama memberikan efek negatif pada pikiran anak-anak.
Lembaga Hak Asasi Manusia Uighur yang berbasis di Washington telah mengeluarkan pernyataan pada hari Kamis (31/3) setelah mengetahui orang-orang Uighur di Xinjiang yang tidak dapat mengadakan buka puasa, makanan yang dimakan oleh umat Islam saat matahari terbenam untuk berbuka puasa setiap hari selama Ramadhan, atau berdoa tanpa mengambil risiko dicap sebagai ekstremis agama.
Pernyataan tersebut berbunyi “Tidak akan ada Ramadan untuk Uighur di tanah air tahun ini atau tahun apa pun sampai kampanye genosida China diakhiri”.
Hal senda juga disampaikan oleh Komite Urusan Agama di Kongres Uyghur Dunia (WUC) di Jerman, yang menyatakan pihak berwenang si China telah memperingatkan warga Uighur bahwa mereka dapat dihukum karena berpuasa, termasuk dengan dikirim ke salah satu jaringan kamp interniran XUAR yang luas, di mana pihak berwenang diyakini telah menahan hingga 1,8 juta orang Uyghur dan minoritas Muslim lainnya sejak April 2017.
Presiden WUC Dolkun Isa mengatakan China telah mengubah Ramadhan menjadi bulan penderitaan genosida yang mengerikan bagi orang-orang Uighur dan meminta para pemimpin Muslim di seluruh dunia untuk mengutuk pelanggaran hak asasi yang terjadi di Xinjiang.
Direktur Komite Urusan Agama di Kongres Uyghur Dunia (WUC, Tirghunjan Alawudun, bahkan menyebut dunia Muslim akan menertawakan tindakan China dan tercengang dengan penetapan kuota bagi mereka yang bisa berpuasa, setelah melihat pemberitahuan China bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat berpuasa.
Berdasarkan informasi inilah, CENTRIS memandang batasan-batasan yang diduga telah dilakukan China, melanggar sejumlah larangan sebagaimana termakjub dalam Pasal 18 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yakni larangan adanya paksaaan yang ditujukan secara langsung terhadap hak untuk memiliki atau menganut agama atau kepercayaan.
Paksaan tersebut mencakup paksaan fisik (physical coercion), dan cara menggunakan paksaan tidak langsung (indirect means coercion).
“Ini tidak boleh dibiarkan, semua pihak harus bersuara untuk ini. Siapapun tidak boleh memaksa pemeluk agama maupun untuk tidak mempercayai agama/tuhan (ateisme) atau keluar dari agama mereka,” pungkas AB Solissa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: