MKEK IDI Bongkar 'Borok' Desain Penelitian Terapi Cuci Otak dokter Terawan, Nggak Nyangka Banget!
Perwakilan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Etik (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, Sp. FK, mengungkapkan kelemahan disertasi terapi cuci otak atau Digital Subtraction Angiography (DSA) yang dilakukan oleh Mantan Menteri Kesehatan RI, dokter Terawan Agus Putranto.
Dalam rapat bersama dengan Komisi IX DPR RI, beberapa hari lalu, Prof Rianto yang juga merupakan ahli farmakologi, mengatakan disertasi dokter Terawan mengandung kelemahan subtansial.
"Pertama menggunakan heparin, DSA itu suatu metode, metode radiologi memasukkan kateter dari suatu pembuluh darah di paha sampai ke otak di sana dilepaskan kontras, kontras itu akan menunjukkan di mana yang mampetnya itu," kata Prof Rianto seperti dikutip dari Suara.com, Kamis (7/4/2022).
Agar ujung kateter tetap terbuka, diberika sedikit dosis kecil heparin. Hal itu mencegah bekuan darah di ujung kateter.
"Jadi dosis yang kecil tidak bisa diharapkan untuk merontokkan gumpalan darah itu, jadi hanya sekadar mencegah mampetnya bekuan darah," kata Prf Rianti.
Baca Juga: Dicecar Refly Harun “Mahasiswa Demo Nggak Angkat Isu Presidential Threshold” Ini Kata Ketua BEM UI
"Jadi ketika itu digunakan maka timbul masalah yang besar sekali, yang digunakan adalah orang orang stroke, yang lebih dari satu bulan. Jadi bekuan darah sudah mengeras di situ, dan tidak mungkin kita cari di literatur manapun heparin efektif merontokkan melarutkan bekuan darah seperti itu," jelas Prof Rianto.
Menurutnya, yang bisa melarutkan bekuan darah seperti itu adalah zat lain yang dikenal dengan thrombolytic agent. Itu pun, lanjut Prof Rianto, hanya akan efektif jika bekuan darah di otak yang menimbulkan stroke umurnya baru satu jam, dan bukan satu bulan lebih.
Kemudian, obat yang digunakan juga bukan obat yang berfungsi untuk meluruhkan gumplaan tersebut.
"Jadi timbul masalah besar di situ. Kemudian, yang melakukan uji klinik ini adalah penelitian yang tidak punya kelompok pembanding, tidak punya kelompok kontrol, kata dia.
Prof Rianto mempertegas, bahwa di dalam metode ilmu pengetahuan, sulit untuk bisa menerima uji klinik yang tidak punya kelompok pembanding. Bahkan, menurut Prof Rianto disertasi dokter Terawan memiliki desain penelitian yang cacat besar.
"Yang ketiga beliau menggunakan tolok ukur keberhasilan menggunakan parameter surrogate, parameter yang kita sebut parameter pengganti, yaitu pelebaran pembuluh darah atau evoke harusnya suatu uji klinik yang baik tolok ukur tidak boleh itu, tapi perbaikan yang betul betul dirasakan oleh pasien," kata Rianto.
Lebi lanjut, Prof Rianto menjelaskan, bahwa dasar dalam penentuan 75 sampel yang dipilih dokter Terawan juga tidak jelas. Kemudian, dookter Terawan juga menggunakan suatu prosedur diagnostik untuk prosedur terapeutik.
Baca Juga: Tampil di Channel Refly Harun, Kecurigaan Ketua BEM UI ke Jokowi Nggak Main-main: Jangan-jangan…
"Ini kalau boleh saya analogikan ada orang batuk darah dokter mengatakan kamu rontgen dulu setelah dirontgen itu dibilang enggak ada pengobatan lain, ronsen itu lah pengobatannya. Jadi beralih fungsi yang sama sekali susah diterima dengan nalar kita," kata dia.
“Saya dalam hal ini mengatakan, hormat saya yang setinggi-tingginya pada Unhas, dan hormat saya pada tim pembimbing mereka, karena mereka sebetulnya tahu sejak semula, cuma mereka terpaksa mengiyakan karena konon ada tekanan eksternal yang saya sama sekali tidak tahu itu bentuknya apa,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto