Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Memaknai Pendidikan dari Kisah Perempuan Tangguh Hutan Gunung Leuser

        Memaknai Pendidikan dari Kisah Perempuan Tangguh Hutan Gunung Leuser Kredit Foto: Ratih Widihastuti Ayu
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Memaknai Hari Pendidikan Nasional 2022, Warta Ekonomi menelusuri kisah jejak perempuan di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara yang bertekad kuat dan berani mengambil langkah perubahan menjadikan dirinya yakin akan bermanfaat untuk masyarakat di lingkungannya.

        Niat baik tersebut datang dari Nurul Nayla Azmi, 32 tahun yang mengabdikan dirinya di ranah lingkungan hidup dan pendidikan

        Baca Juga: Kabarnya 80 Juta Orang Lakukan Mudik Lebaran, Luhut: Semoga Tak Ada Lagi Varian Baru

        Perempuan biasa disapa dengan Nayla ini, membagikan kegiatan bekerja dan menjadi relawan bidang isu lingkungan sudah berlangsung sejak 2010. Ia lulusan Magister Linguistik sekolah Pasca sarjana Universitas Sumatera Utara.

        Nayla memulai karier di konservasi menjadi relawan di sebuah NGO (Non-Governmental Organization) dalam bidang konservasi orang utan. 

        Adapun membawanya tergerak di bidang lingkungan hidup pertama kali, saat memasuki Hutan Taman Leuser. Saat itu dia merasakan hatinya terpukul dengan kejadian yang menimpa wilayah tempat tinggalnya di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara habis menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

        “Aku benar-benar terpukul melihat apa yang hilang dari lingkunganku, makanya waktu pertama kali masuk hutan tuh nangis,” jelas Nayla dengan rasa prihatin.

        Dia melihat peran perempuan dalam pendidikan dan konservasi alam mempunyai peranan strategis sangat penting dalam melestarikan lingkungan dan mengawasi terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan.

        Baca Juga: Jokowi: Saya Sekeluarga Mengucapkan Selamat Idulfitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin

        “Itu yang menjadi titik tolak hidupku, ketika melihat hutan pertama kali yaitu perubahan” jelas Nayla saat dengan Warta Ekonomi, dikutip, Senin (02/5).

        Nayla mengatakan peran perempuan menjadi peranan penting karena dapat menjadi “agent of change” dan penentu kebijakan di dalam mengembangkan lingkungan yang responsif gender dan pendidikan.

        Sebelum memutuskan aktif di bidang NGO, beliau pernah menjadi dosen di perguruan tinggi negeri di Medan, Sumatera Utara. Namun, dengan tekadnya demi lingkungan tempat tinggalnya yang besar di perkebunan kelapa sawit. Sejak saat itu meninggalkan karier sebelumnya sebagai dosen dan memenuhi panggilan untuk bekerja di lembaga pendidikan konservasi alam secara profesional.

        Baca Juga: Singgung Islamofobia, Omongan Fadli Zon Gak Main-main Soal Cuitan Prof Budi Santosa, Simak!

        “Aku meninggalkan profesiku dulu dosen demi terciptanya bekerja secara profesional,” jelas Nayla.

        Saat ini Nayla bekerja di dunia konservasi alam sebuah NGO orang utan yang berbeda dan tetap melakukan kegiatan relawan pada saat yang bersamaan. 

        Inilah perjalanan awal Nayla, menjadi pengajar relawan untuk anak-anak di sebuah desa bernama Timbang Lawan, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, yang dekat dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. 

        “Pada tahun 2020, aku menyadari bahwa saatnya mendalami ilmu pemberdayaan perempuan di dunia konservasi lingkungan hidup dan pendidikan, mulai saat itulah menjadi hal penting pula yang menjadi fokus,” kata dia.

        Dengan kata lain, Nayla berfokus pada pendidikan anak dan pemberdayaan perempuan sebagai cara untuk melindungi keberlangsungan hutan. Dia mempercayai jika masyarakat setempat adalah orang yang paling tepat sebagai pelindung hutan.

        Baca Juga: Kemendikbudristek dan LPDP Tingkatkan Peluang Masyarakat Melanjutkan Pendidikan Tinggi

        “Buatku masyarakat orang yang paling tepat sebagai pelindung hutan karena itu adalah lingkungan mereka, ”pungkasnya. 

        Keterlibatan masyarakat pun kata Nayla, secara langsung sangat berdaya, dalam memenuhi peran hidupnya bergantung dengan alam. 

        “Maka sudah saatnya untuk kita mengingatkan kembali peran bersama sebagai orang asli untuk menjadi penjaga hutan secara bersama-sama,” jelas dia.

        Baca Juga: Tinjau Stasiun Pasar Senen, KLHK Pastikan Pengelolaan Sampah Selama Libur Lebaran Sesuai Standar

        Bukan hanya itu, dia juga aktif menjadi relawan menjadi relawan di sebuah komunitas peduli anak dan Sungai Deli di Medan, Sumatera Utara. Mengingat peran pentingnya perempuan dalam pendidikan.

        Tujuannya, adalah mengajarkan pentingnya hutan dan lingkungan sekitar sungai dan alam sebagai bagian dari kebutuhan manusia.

        Nayla sudah sejak 10 tahun lalu bekerja secara profesional dan melakukan project pribadi untuk menjangkau lebih luas. Ia memberanikan diri berdikari dengan meluncurkan lembaga sendiri. Adapun lembaga NGO yang di dirikannya bernama, Nuraga Bhumi Institute yang berfokus pada pendidikan dan pemberdayaan perempuan sekitar hutan serta edukasi anak sebagai bagian dari usaha perlindungan hutan taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara.

        Alasan dia, mendirikan lembaga NGO sendiri agar turun langsung dalam program-program campaign yang berfokus pemberdayaan anak dan perempuan.

        Baca Juga: Gegera Akun Twitter Ini Sentil JIS, Ganjar Pranowo Jadi Kena Hajar Netizen!

        “Karena sampai saat ini, masih banyak yang berkecimpung di dunia konservasi itu kan dominasi laki-laki,” jelasnya.

        Sampai, saat ini kata dia, belum ada bantuan dari pihak pemerintah dan luar daerah. Dalam segala urusan sejak awal sudah bertekad kegiatan relawanan bekerja secara profesional dengan mengumpulkan hasil dari pekerjaan sebelumnya.

        “Aku bekerja secara profesional di NGO orang utan sebelumnya dan penghasilannya aku berikan pada keluarga dan kegiatan relawan ini,” jelas Nayla perempuan 32 tahun ini.

        Baca Juga: Prof Budi Santosa Sebut Perempuan Berjilbab Manusia Gurun, DPR: Sudah Memojokkan Agama Tertentu!

        Kemudian saat ini lembaga organisasi yang ia bangun sedang mencari support, tetapi tidak ada support pun tetap dia tetap mengusahakan segala upaya agar tetap berjalan.

        Misalnya, untuk akomodasi dan pendapatan yang ia dapatkan bersumber dari masyarakat setempat karena sudah dianggap keluarga.

        “Jadi gak ada biaya apa pun karena aku tinggal di rumah mereka dan dianggap menjadi bagian keluarga mereka,” kata Nayla.

        Hal Itu juga, yang membuat dirinya menjadi semakin cinta dan berusaha keras dengan apa yang dia kerjakan. Karena didukung oleh kasih sayang nyata dari keluarga kandung dan masyarakat desa Timbang Lawan, Sumatera Utara, yang sekarang sudah menjadi bagian keluarga untuk hidupnya.

        Bukan hanya itu, di lembaga yang bernama Nuraga Bhumi Institute ini bekerja sama dengan kelompok masyarakat Nature for Change, yaitu tempat wadah untuk perempuan yang tinggal berada di sekitar daerah tersebut.

        Dengan mengajarkan berbagai program-program yang beragam ke masyarakat terutama perempuan, yakni memasak, menjahit dan bordir, membuat sabun, kerajinan tangan dan lain-lain untuk menambahkan penghasilan masyarakat sekitar. 

        Baca Juga: Pengamat Apresiasi KPK Soal Upaya Pengungkapan Dugaan Korupsi Formula E

        “Yang baru berjalan adalah pelatihan pembuatan sabun organik dengan bahan minyak kelapa yang menjadi usaha kecil-kecilan saat ini,” jelas Nayla.

        Nayla berharap semua perempuan bisa bergerak membantu dalam konservasi alam. Demi kelangsungan hidup menjadi perempuan berdikari di hidup yang akan mendatang. Karena peran perempuan memang sangat penting dalam mengatur moda perekonomian.

        “Intinya kalau perempuan bisa membantu dan mandiri, pasti perusakan hutan dengan alasan kebutuhan ekonomi akan semakin berkurang,” jelasnya.

        Baca Juga: Top! Bioplastik dari Limbah Sawit Jadi Jawaban Kerusakan Lingkungan

        Untuk itu, Nayla perlu memberikan pelatihan kepada perempuan untuk terlibat dalam di konservasi alam dan pendidikan yang dia jalankan agar perempuan dapat berdaya.

        “Jika ingin berusaha untuk membantu keluarganya dengan menggunakan keahlian dari pelatihan tersebut untuk berwirausaha mandiri,” tandasnya.

        Nayla mengatakan dengan pendidikan konservasi alam dan memberikan pelatihan kepada perempuan tetapi juga untuk anak-anak dengan membangun rumah belajar bernama "Rumah Baca Pintar Bersama," di tempat lembaganya 

        Adapun kegiatan lainnya, ia membuka kelas mengaji, calistung dan Bahasa Inggris untuk anak-anak di lingkungan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Ia menjelaskan mengapa melakukan hal tersebut tanpa pamrih karena ingin anak- anak bermanfaat bagi lingkungannya. 

        “Kita berusaha menyisipkan pentingnya pendidikan dan konservasi lingkungan setiap hal yang mereka pelajari. Harapannya dapat melanjutkan apa yang nenek moyang kita sebagai penduduk asli Sumatera untuk melindungi hutannya,” jelasnya.

        Baca Juga: Tanggapi Soal Ujaran Prof Budi Santosa, LPDP Bakal Turun Tangan!

        “Dalam hal konservasi alam, pihaknya memberikan pandangannya terkait hutan lindung patut untuk ingatkan, bahwa hutan dan alam adalah bagian kehidupan nenek moyang kita jaga dan pelajari kembali. Konservasi lingkungan bukan hanya berbicara perihal perubahan namun juga secara menyeluruh dalam setiap sisi aspek kehidupan,” ungkapnya.

        Sebab kata dia, memperbaiki kerusakan lingkungan tidak dapat terjadi dalam satu malam. Sehingga perlu, semua sisi untuk menjangkau dan terlibatkan dalam konservasi lingkungan ini.

        Sudah seharusnya kata dia, masyarakat peka akan keadaan sekitarnya. Karena jika memang masyarakat sudah sejahtera dengan keberlangsungan hidupnya. Mereka pendatang pasti tidak ingin merusak yang sudah diwariskan dari lahir. 

        Baca Juga: Gandeng Investor Demi Energi Hijau, B20 Indonesia Roadshow ke AS-Kanada

        “Kalau mereka punya sumber pencaharian yang layak, ngapain ke hutan pasang jerat buat berburu hewan, menebang pohon itu merusak alam,” jelas Nayla.

        Nayla menjelaskan konservasi lingkungan bukan hanya bidang kerja. Tetapi juga sebuah tanggung jawab sebagai manusia dan hak yang sudah di bawa sejak lahir yang harusnya jadi bagian nilai kehidupan di bawa di setiap langkah mereka berpijak.

        “Konservasi lebih dari program dan kampanye, tetapi juga membongkar permasalahan dari akarnya terkait hilangnya identitas kita sebagai masyarakat asli karena penjajahan. Andai gak ada penjajahan dulu, maka mungkin nenek moyang kita tetap menjadikan hutan sebagai bagian dari hidupnya, bukan membabat hutan untuk jadi perkebunan tetapi sumber resapan,” jelasnya.

        Menurut dia, pola perkebunan sudah dipelajari sejak zaman penjajahan, termasuk komoditas seperti karet dan kelapa sawit yang setelah itu jadi bagian penting kehidupan masyarakat indonesia. Dari dua komoditas itu merupakan ekspor terbesar Indonesia.

        “Artinya hingga saat ini, masyarakat lebih punya pengetahuan menanam kelapa sawit dan karet daripada hal lain yang menjadi warisan nenek moyang," jelas dia.

        Baca Juga: Siaga 24 Jam, Pertamina Pastikan Kebutuhan BBM dan LPG Selama Musim Mudik Lebaran Aman

        Sehingga saat menggerakkan konservasi alam ini sangat penting dibutuhkan kerja di lapangan untuk meninjau langsung dengan bekerja sama dengan masyarakat untuk kembali belajar bersama cara untuk hidup harmonis dengan tidak merusak keberlangsungan hutan. Adapun cara yang ia lakukan untuk menyampaikan program-program konservasi alam dan pendidikan melalui perempuan lewat edukasi serta spiritual mereka.

        Sempat Terkendala dan Dilema 

        Nayla mengatakan sempat terkendala saat bergerak di bidang isu edukasi lingkungan hidup. Karena sebagai perempuan sering dipandang sebelah mata karena tidak mempunyai latar belakang konservasi sehingga sering di remehkan yang berpengaruh pada mentalnya. 

        Baca Juga: Sebut Rasis dan Xenophobic Soal Ujaran Prof Budi Santosa, Pakar: Dia Korban Firehose of Kadrunisasi

        “Banyak yang bilang, bilang kamu kan perempuan, ngapain kerja di hutan,” jelas perempuan lulusan Universitas Sumatera Utara tersebut.

        Bahkan kata dia, sempat merasakan dilema karena orangtuanya sempat tidak mendukung menjadi relawan pendidikan konservasi lingkungan hidup.

        “Gak sama sekali. Karena kan beda banget jadi dosen yang settle terus masuk keluar hutan dan fokus dengan masyarakat desa pinggiran hutan sehingga mereka khawatir dan takut,” jelasnya.

        Namun seiring berjalannya waktu, sang orang tua mulai mengerti bahwa yang dia kerjakan sekarang adalah panggilan hati nurani. Dengan dukungan dan kepercayaan dari keluarga itulah keyakinannya terasah untuk maju kedepan.

        “Orang tuaku menyadari tindakan yang dilakukan anaknya sebuah bentuk pengabdian dan tanggung sebagai generasi muda dan sumber kebahagiaan, karena merasa utuh jadi manusia yang tidak hanya berguna bagi manusia lain tapi untuk alam dan hewan,” pungkasnya.

        Mulai saat itu ia bangkit, setelah melihat sambutan masyarakat yang hangat serta setia setiap kedatanganku.

        “Mulai di situ aku ngerasa berarti. Ada jiwa-jiwa yang sudah aku sentuh untuk mendorong perubahan,” tegasnya dengan wajah tersenyum.

        Baca Juga: Prof Budi Santosa Sebut Perempuan Berjilbab Manusia Gurun, PKS: Tak Patut Apalagi Akademisi!

        Terutama perempuan-perempuan lain yang membutuhkan uluran tangannya. Untuk saat ini Nayla lebih memperkuat tujuannya dalam mendukung perempuan-perempuan lain agar mampu berdaya dan dengan caranya sendiri serta membawa perubahan di dunia.

        Nayla berharap perempuan di Indonesia dapat belajar dari hal perubahan sekecil apapun yang berarti. Lalu, perlu di garis bawahi adapun pelajaran paling penting adalah sebagai manusia harus bertanggung jawab dan berhak penuh buat jaga bumi apa pun latar belakangnya.

        “Perempuan menjadi kuat penting bukan buat menyelesaikan masalah tapi buat gak jadi kalah sama tantangan dan masalah," jelas Nayla dengan kritis.

        Baca Juga: Jadi Ujung Tombak Menuju NZE, Simak Nih Langkah-langkah PLN

        Ia juga berpesan dengan masyarakat bahwa banyak hal yang bisa dapat dilakukan bersama agar hidup lebih harmonis berdampingan dengan alam. 

        “Masyarakat bisa memulai menjaga alam dan bumi dengan hal-hal bermanfaat seperti, kembali menggali potensi setempat dengan perkembangan pasar yang bernafas kearifan lokal dan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan hutan. Dengan menggunakan alternatif lainnya pengganti bahan karet dan sawit,” ucapnya.

        Saatnya masyarakat menyadari untuk kembali menjadikan konservasi hutan sebagai bagian dari tujuan hidup serta nilai -nilai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Maka dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia dengan alam dan manusia saling berkesinambungan.

        “Jadi kalau alam itu habis hasil pangan pun akan habis. Semua di dunia ini sebenarnya berkaitan, setiap dari kita sebagai manusia, sebab memang manusia selayaknya bisa bersumbangsih dalam kerusakan bumi baik kecil dan besarnya,” ucapnya.

        Dia menegaskan dari usaha makhluk hidup, sekecil apa pun sangatlah penting dan berharga. Mulai dari merubah gaya hidup sebisa mungkin untuk tidak menambah kerusakan lingkungan tadi.

        “Manusia bukan cuma jadi masalah, tetapi juga harus menjadi solusi untuk sekitar dan kehidupannya,” tutupnya.

        Baca Juga: Jokowi dan Anies Baswedan Lengket di Sirkuit Formula E, Pengamat: Pendukung Harus Terima Kenyataan

        Sebagai tambahan informasi, kegiatan Nayla merupakan langkah dari Millenium Development Goals atau (MDGs) untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dan mengembangkan kemitraan secara global untuk pembangunan. Rencananya itu sejalan dengan program Indonesia yang mendeklarasikan tujuan MDGs tersebut.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ratih Widihastuti Ayu
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: