Masif! Puluhan RIbu Rakyat Amerika Turun ke Jalan, Jarang Terjadi karena Tuntutannya...
Puluhan ribu warga Amerika Serikat kompak turun ke jalan-jalan di sejumlah kota besar. Mereka memprotes aturan kepemilikan senjata. Warga AS marah dan frustrasi karena insiden penembakan yang menewaskan dan melukai banyak korban, kembali marak.
Massa yang tergabung dalam gerakan March for Our Lives (MFOL) ini mendesak para politisi untuk meloloskan aturan, yang dapat menekan angka kekerasan senjata api. Unjuk rasa massif ini berlangsung, usai terjadinya penembakan massal di sebuah sekolah dasar di Texas bulan lalu.
Baca Juga: Bikin Khawatir, Senjata Nuklir Dunia Bertambah, Amerika bakal Keteteran Kejar Keunggulan Rusia
Di wilayah Washington DC, pihak penyelenggara March MFOL mengestimasi ada 40 ribu orang berkumpul di National Mall dekat Washington Monument, di bawah guyuran hujan ringan. Massa datang dari segala usia.
Dalam aksinya, para demonstran menempatkan lebih dari 45.000 vas putih berisi bunga. Satu, untuk setiap orang yang terbunuh oleh senjata api di AS pada 2020.
MFOL adalah grup keamanan senjata api yang dibentuk penyintas penembakan massal 2018 di Parkland, Florida
Courtney Haggerty (41), pustakawan asal Lawrenceville mengatakan, dia datang ke Washington bersama anak perempuannya, Cate (10) dan anak laki-lakinya, Graeme (7).
Dia mengatakan, penembakan massal di Sekolah Dasar Sandy Hook pada Desember 2012 terjadi satu hari usai ulang tahun pertama anak perempuannya.
“Saya tidak menyangka di saat anak saya sudah mendekati usia 11 tahun, kami masih melakukan demonstrasi seperti ini,” ucapnya, dikutip AP, Minggu (12/6/2022).
Sementara Kay Klein, pelatih program guru dari Fairfax mengimbau, dalam pemilihan umum sela pada November mendatang, warga AS harus berhenti memilih politisi yang menolak mengambil tindakan nyata terkait kekerasan senjata api.
“Jika kita memang peduli terhadap anak-anak dan keluarga, kita harus memilih politisi yang mau mengambil tindakan nyata,” tegasnya.
Tahun ini, pelaku penembakan bersenjata menyasar Sekolah Dasar, Robb Elementary School di Uvalde, Texas, 24 Mei lalu. Insiden berdarah itu menewaskan 19 anak dan dua guru.
Penembakan terjadi 10 hari usai insiden bersenjata api, yang juga membunuh 10 orang di sebuah toko grosir di Buffalo, New York.
“Lindungi Orang, Bukan Senjata,” bunyi salah satu spanduk yang dipegang seorang pengunjuk rasa di dekat Monumen Washington.
“Ketakutan tidak Memiliki Tempat di Sekolah,” bunyi spanduk lainnya.
Dua penembakan mengerikan bulan lalu, yaitu di Sekolah Dasar di Texas dan di Supermarket New York, memicu aksi unjuk rasa yang diselenggarakan MFOL. Aksi MFOL turun ke jalan bukan yang pertama.
MFOL mengadakan unjuk rasa yang menarik ratusan ribu orang ke Washington DC, Maret 2018. Empat tahun kemudian, makin banyak rakyat frustrasi karena tidak ada kemajuan.
Baca Juga: Ternyata yang Dimau China Gampang Dilakukan, tapi Amerika dan NATO Mau Lakukan ke Rusia?
Kata-kata seperti “Sudah Cukup” terdengar berulang kali dari podium, dengan pembicara yang juga penyintas penembakan massal, Parkland X Gonzalez dan cucu perempuan Martin Luther King Jr, Yolanda King.
“Kami di sini untuk menuntut keadilan. Kami di sini untuk mendukung mereka yang cukup berani menuntut undang-undang senjata yang masuk akal,” kata Garnell Whitfield, yang ibunya tewas dalam penembakan di supermarket yang bermotif rasial di Buffalo, New York, 14 Mei lalu.
Masalah kekerasan senjata di AS telah menewaskan lebih dari 19.300 orang sepanjang tahun ini. Menurut Gun Violence Archive, dari jumlah tersebut, lebih dari setengah kematian itu karena bunuh diri.
Namun para anggota kongres cenderung menyoroti masalah kekerasan senjata api adalah soal kesehatan mental. Apalagi setelah penembakan di Robb Elementary School di Uvalde, Texas. Pembantaian itu dilakukan seorang pria bersenjata yang membeli dua senapan serbu tidak lama setelah dia berulang tahun ke-18.
Pendukung pengendalian senjata menyerukan pembatasan yang lebih ketat atau larangan langsung terhadap senapan semacam itu. Tetapi para penentang menyebut, penembakan massal terutama sebagai masalah kesehatan mental, bukan masalah senjata.
"Mayoritas orang AS mendukung undang-undang senjata yang lebih ketat. Namun. tentangan dari banyak anggota parlemen Republik telah lama menjadi rintangan bagi perubahan besar. Keinginan rakyat AS sedang ditumbangkan minoritas,” cibir Cynthia Martins (63) yang merujuk pada Partai Republik.
Menurutnya, ada alasan mengapa warga masih dalam situasi ini. Rentetan penembakan yang terus terjadi di AS, semakin meningkatkan tensi debat mengenai kekerasan senjata api. Namun sejauh ini, lanjut Martins, prospek adanya legislasi federal terkait hal tersebut masih belum dapat dipastikan.
“Karena sebagian politisi Partai Republik menentang keras segala bentuk pembatasan terhadap senjata api,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: