Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jelang Pemilu 2024, Politik Saling Jegal Makin Kental

        Jelang Pemilu 2024, Politik Saling Jegal Makin Kental Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Beragam intrik politik hingga saling jegal lawan terus mewarnai dinamika perpolitikan tanah air menjelang Pemilu 2024

        Terbaru, Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mardani H. Maming turut jadi terget. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait perpanjangan dan penerbitan Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel).

        Baca Juga: Jelang Rakernas NasDem, Pesan Ahmad Sahroni: Semangat Sampai Raih Kemenangan di Pemilu 2024

        "Mardani mungkin kurang begitu populer. Namun, dirinya cukup terkenal di kalangan pebisnis dan elite politik," kata Research Director of IndoNarator, Harsam kepada wartawan di Bandung, Rabu (16/6/2022) malam.

        Harsam menngungkapkan sebelum didapuk menjadi bendum PBNU periode 2022-2027, pria berusia 40 tahun itu sempat jadi Bupati Tanah Bumbu dua periode (2015/2016-2018). Selama menjabat Bupati Tanah Bumbu, Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2019-2022 itu memang jauh dari sorotan berita miring. 

        Kabar miring mengenai dirinya baru mulai mencuat usai ditunjuk sebagai bendum PBNU. Tepatnya, ketika eks Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo didakwa bersalah atas kasus gratifikasi dari mantan direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN).

        Baca Juga: Bertemu Masyarakat, Puan Minta Jaga Kelancaran Tahapan Pemilu 2024

        "Bermula dari perkara hukum yang menyeret Dwidjono, KPK lalu mengejar saksi lainnya, termasuk Mardani untuk dimintai keterangan seputar kasus suap itu," katanya.

        Alhasil, dari penelurusan kasus itu, Mardani pun akhirnya disebut turut menerima uang suap berdasarkan keterangan yang disampaikan Dwidjono dalam sidang pembacaan nota pembelaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin pada Senin, (13/6/2022) lalu.

        Di balik kabar tak sedap yang menimpa dirinya, muncul pendapat pro-kontra di kalangan pengamat. Ada yang menduga pelibatan Mardani dalam kasus tersebut tak lain karena motif bisnis. 

        Hal ini dilontarkan pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana saat mengomentari berita miring yang menerpa Mardani. Bahkan, menurutnya, perkara yang menyeret Mardani merupakan hal yang lumrah terjadi di Kalsel. Ia pun meyakini bahwa kasus yang dialami bendum PBNU itu murni kriminalisasi.

        Baca Juga: Mardani Teriak "Lanjutkan" Jabatan Presiden, Jokowi: Yang Ngomong Bukan Saya, Yang Didemo Saya

        "Denny juga menilai para kompetitor bisnis biasanya bermain dalam kasus tersebut dengan tujuan mengambil bisnis dari korban kriminalisasi," jelas Harsam.

        Menanggapi kondisi tersebut, Harsam menilai apa yang dilontarkan Denny ini mampu memicu pertanyaan lebih lanjut. "Dengan kata lain, jika bendum PBNU itu benar dikriminalisasi, apa saja modus operandi untuk menjegal Mardani? Apakah hanya sebatas ingin men-takeover bisnis korban, atau ada setting agenda lain yang perlu dikuak lebih dalam?" ungkapnya.

        Harsam mengatakan masyarakat perlu bijaksana dalam melihat kasus tersebut. Artinya, harus dilihat dalam dua sisi, yakni sisi hukum dan sisi politik. Dari sisi hukum, dugaan kasus korupsi yang menyeret Mardani berdasarkan sejumlah keterangan yang disampaikan para saksi, biarkan itu diproses secara hukum.

        Baca Juga: Kritik Gus Yaqut dan Gus Yahya, Tokoh Ini Blak-blakan Sebut PBNU Makin Kehilangan Wibawa!

        Namun, di balik itu semua ada persoalan politik yang juga perlu diinterpretasikan lebih jauh. Menimbang, kasus Mardani berkorelasi dengan posisi PBNU pada hajatan elektoral 2024.

        "Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar yang punya pengaruh signifikan terhadap Pemilu mendatang, PBNU besar kemungkinan ikut tertelungkup imbas dari kasus tersebut," katanya.

        "Hal yang dapat dibaca dari perersoalan ini tak lain dan tak bukan adalah bentuk tak kasat mata dari operasi invisible hand yang ikut masuk dalam agenda kontestasi elektoral 2024," sambungnya.

        Dugaan kuat ini, Lanjut Harsam, merupakan implikasi riil dari permainan di high level elite yang terus berusaha menggembosi kekuatan PBNU sebagai salah satu kekuatan hijau yang menjadi penentu suksesi elektoral.

        Baca Juga: Mantan Ketum PBNU: Yang Masih Permasalahkan Pancasila, Silakan Pindah ke Afghanistan!

        Artinya, banyak kelompok di luar kekuatan ini, atau bahkan dari dalam yang berharap hijau Islam dapat dibonsai atau minimal dibelah sehingga memberi ruang manuver bagi kekuatan lain mereorganisasi diri.

        Intrik semacam ini cukup lazim dalam rumus taktikal politik: menusuklah ke dalam kekuatan besar dan obrak-abrik dari dalam, atau belahlah menjadi dua, tiga atau sebanyak mungkin, ketika kekuatan yang besar itu sulit untuk dilawan.

        "Sinyal pembonsaian PBNU atau Islam pada umumnya memang terbilang selalu jadi target serius, terutama dari kalangan negara berkepentingan bahkan aktor-aktor nonnegara," ungkapnya.

        Baca Juga: Penunjukan 2 Menteri Baru Kurang Pas untuk Evaluasi Kinerja, Pengamat: Kepentingan Politik Sesaat

        Kelompok yang disebutkan terakhir ini memang bekerja di balik layar yang sukar terdeteksi. Mereka umumnya bergerak melalui apa yang disebut sebagai the power of invisible hand. Cara kerja kekuatan ini meski sulit terungkap, pengaruh dan dampaknya cukup signifikan terhadap apa yang menjadi target mereka.

        "Dalam praktiknya, mereka selalu mengincar sesuatu yang dalam rumusan taktikal menjadi barometer penting penghambat atau penentu ending goals," ungkapnya.

        Saat ini, mereka pun melihat Indonesia tengah menghadapi satu momentum krusial yang kelak menentukan kelangsungan agenda strategis mereka di Indonesia: bisnis dan kekuasaan. Dua kata kunci itulah yang sulit dilepaskan dari sistem kerja invisible hand yang tiada hentinya memainkan pengaruh di setiap lini dan momentum.

        Apalagi, kata Harsam, PBNU belakangan diduga lebih condong ke Amerika Serikat yang notabene merupakan salah satu kekuatan invisible hand yang paling berkepentingan di balik kontestasi elektoral 2024.

        Baca Juga: Sebelum Lantik Menteri, Jokowi Jamu Ketum Parpol, Airlangga Blak-blakan: Konsolidasi Politik

        Rumor kecondongan PBNU ke Paman Sam ini tidak terlepas dari sosok Ketum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya yang dinilai memiliki hubungan dekat dengan AS. Kecurigaan ini semakin menguat ketika baru beberapa saat Gus Yahya dilantik, kantor ormas Islam tersebut langsung dikunjungi Dubes AS untuk Indonesia, Sung Y Kim pada Senin, 1 Maret 2022. 

        Sementara, sebelum-sebelumnya PBNU kerap diisukan memiliki hubungan mesra dengan Tiongkok. Kemesraan itu nampak terlihat kala PBNU sebelumnya menggelar buka puasa bersama dengan Dubes Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian pada 4 Mei 2020. 

        "Timbulnya perubahan 'rasa' dari China ke AS ini tentu menimbulkan rasa cemburu dari sang mantan. Apalagi jika hal ini dihubungkan dengan persaingan di antara kedua negara rivalitas dalam memperebutkan pesona Indonesia," jelasnya.

        Baca Juga: Tegaskan Tak Kenal Ikatan Alumni, GP Ansor: Tolak Manuver Politik Demi Kepentingan Jangka Pendek!

        Oleh karena itu, intrik politik yang coba dimainkan dengan harapan dapat melumpuhkan kekuatan hijau Islam (PBNU) menjadi make sense.

        "Dengan pembacaan itu pula menjadi masuk akal bahwa untuk dapat menguasai Indonesia ke depan, kekuatan invisible hand, apakah perlu terlebih dahulu melumpuhkan salah satu kekuatan hijau melalui sanderaan politik?" pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: