Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dr. Raymond R. Tjandrawinata: Perubahan pada Rantai Nilai Pasokan Membutuhkan Kekuatan Global

        Dr. Raymond R. Tjandrawinata: Perubahan pada Rantai Nilai Pasokan Membutuhkan Kekuatan Global Kredit Foto: Dexa Group
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Setelah Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, sasaran utama globalisasi adalah proses efisiensi. Perusahaan menempatkan produksinya di daerah yang biayanya paling rendah, sementara investor mengerahkan modal di tempat yang pengembaliannya paling tinggi. Lebih dari dua dekade, banyak kemajuan telah dicapai untuk memunculkan rantai nilai yang sangat canggih yang mencakup setengah dari semua perdagangan. Semua ini membuat harga tetap rendah bagi konsumen, serta membantu mengangkat lebih dari 1 miliar orang terentas dari kemiskinan. Hal ini terjadi di banyak negara berkembang yang meningkatkan industrialisasi, termasuk Tiongkok, India, dan tentunya negara kita, Indonesia.

        Dimulai pada 1990-an, teknologi, stabilitas geopolitik, dan pencarian efisiensi serta keunggulan bersaing adalah parameter-parameter penting yang dapat menarik investasi untuk menjadi negara berbasis industri. Hal ini, tidak terbelenggu dari geografi. Dengan komunikasi yang lebih baik ditambah kemudahan pengiriman peti kemas yang lebih efisien, perusahaan-perusahaan berpindah dari satu benua ke benua lain untuk mencari biaya yang murah dan margin keuntungan yang lebih tebal.

        Baca Juga: LPEI Gandeng KNEKS Dukung Ekspor Industri Halal

        Rantai pasokan adalah bahan serat dari mana globalisasi dekade terakhir dijalin. Hal ini memungkinkan produsen yang berani menyerang ke luar negeri untuk melemahkan pemasok komponen dan pesaing mereka dalam negeri serta menemukan kesempatan di pasar baru. Sebagai contoh, Indonesia merupakan produsen Nikel terbesar di dunia dan menguasai 27% dari pasokan nikel global. Produksi ini termasuk bentuk produk hulu bijih Nikel sebanyak 50 juta ton/tahun, maupun produk hilir (FeNi, NPI,Matte) kurang lebih 907 ribu ton/tahun. Kebijakan pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor bijih mentah (kurang dari 1,7%) sebagai upaya hilirisasi, telah menyebabkan kenaikan harga nikel global hingga USD18.000 per ton, dari sekitar USD12.000 per ton pada 2020.

        Selain itu, berbagai jaringan transportasi yang melibatkan pesawat, kapal kontainer, kereta api, truk, telah memungkinkan para pebisnis di seantero dunia untuk bersatu: mulai dari Australia dan Eropa, Shanghai sampai ke AS, Johannesburg dan Buenos Aires. Siapapun yang mempunyai teknologi tinggi dapat menciptakan produk baru nan canggih yang dirakit dari komponen yang disediakan di banyak negara berbeda menggunakan komponen yang didatangkan dari area yang lebih jauh lagi.

        Namun, hal ini berubah dalam lima tahun terakhir. Pertama adanya tarif dari negara pengimpor, seperti Amerika untuk produk ekspor Tiongkok. Kemudian pandemi COVID-19 yang mendorong permintaan konstelasi barang tertentu sekaligus menghambat produksi dan transportasinya. Dalam tahun ini, perang Rusia di Ukraina membuat harga komoditas melonjak dan mengingatkan perusahaan betapa cepatnya pengaruh politik dan keamanan dapat menutup satu pasar dan malahan mendatangkan malapetaka di pasar lain.

        Baca Juga: Kacang Lupa Kulitnya, Anies Baswedan Pernah Dibesarkan Prabowo Subianto, Sekarang Saingan di Pilpres

        Sejarah menunjukkan bahwa pemerintah dan perusahaan memiliki pengalaman dalam mengatasi masalah-masalah seperti itu. Pada akhirnya sejarah juga mengatakan tidak banyak usaha yang berhasil untuk mengatasi hal tersebut. Namun, krisis kali ini menunjukkan hal sebaliknya. Rantai nilai global kelihatannya akan mengalami transformasi substantif dalam dekade mendatang, di mana mereka membentuk kembali bentangan perdagangan dan investasi global. Perubahan akan segera terjadi yang didorong oleh lima kekuatan utama: penataan kembali tata kelola ekonomi, revolusi industri 4.0 yang baru, manajemen lingkungan, sosial dan tata kelola, akuntabilitas perusahaan, dan restrukturisasi yang berorientasi pada ketahanan. Semua ini akan menghadirkan tantangan dan peluang bagi setiap perusahaan dan setiap negara, yang mengarah pada perubahan paradigma pengembangan investasi.

        Para pengambil keputusan semakin yakin bahwa rantai pasokan harus kuat, bukan hanya efisien. Akibatnya mereka memilih untuk tidak terlalu bergantung pada area yang amat berisiko. Banyak negara-negara sedang melakukan eksperimentasi kebijakan industri yang ditujukan untuk kemandirian yang dapat menciptakan keunggulan dalam negeri maupun internasional dalam beberapa teknologi dan bisnis strategis. Hal ini berarti investasi di sektor-sektor strategis dibangun dan difasilitasi di dalam perbatasan mereka dan sebaliknya, mereka juga membatasi ekspor hasil produksi sektor-sektor tersebut. Perusahaan, sebaliknya, banyak mengakuisisi pemasok di dalam dan luar negeri demi terjadinya integrasi vertikal.

        Sistem pasokan berbasis pasar yang mulai muncul menjelang akhir abad yang lalu sedang diubah menjadi sesuatu yang, meskipun masih global, tidak bersatu dan mungkin dengan biaya lebih mahal. Pergeseran hari ini bukanlah ayunan dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya, hal ini adalah kekuatan sentrifugal ditambah dengan melemahnya sentripetal. Beberapa produsen raksasa Amerika yang sekarang memproduksi 90% produknya di Tiongkok sudah mulai memindahkan dan meningkatkan investasi manufaktur mereka di Amerika dan Eropa. Walapun hal ini masih akan membuat Tiongkok memproduksi sekitar setengah produk-produk tersebut, namun pergeseran tatanan produksi global sedang berlangsung.

        Baca Juga: Memang Sulit Jadi Anies Baswedan, Tutup Holywings Dicap Pencitraan, "Pasti Kerjaan Haters"

        Mendesain ulang rantai pasokan membutuhkan waktu, dan mendapatkan hasil desain baru membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Biaya yang dikeluarkan akan cukup besar hanya untuk sekadar memperhatikan efisiensi. Biaya ini pastinya akan dibebankan pada pembayar pajak, perusahaan, dan bahkan konsumen. Beberapa ketegangan yang mendasari dapat menjadi lebih, dan upaya untuk meningkatkan keamanan ekonomi bahkan dapat menciptakan masalah-masalah sendiri. Ekonomi dunia belum tentu jadi kuat dan malah rentan terhadap guncangan pada saat perubahan iklim, pandemi penyakit yang akan datang, atau ketegangan geopolitik yang dapat meningkat frekuensi dan intensitasnya.

        Integrasi ekonomi yang meningkat tidak membawa keharmonisan global yang lebih besar seperti yang diharapkan beberapa orang. Sulit membayangkan bahwa fragmentasi akan jauh lebih baik, dan terlalu mudah membayangkannya memperburuk keadaan. Itu bisa menjadi salah satu alasan mengapa, untuk waktu yang lama, perubahan bentuk fundamental globalisasi banyak dibicarakan tetapi tidak banyak dikejar. Sekarang mereka benar-benar terjadi, mereka berkontribusi secara signifikan terhadap kecemasan baru.

        Baca Juga: Kasus Stupa Buddha, Roy Suryo Sebut Akunnya Disita Hoaks, Langsung Dibuat Mingkem Sama Polisi!

        Pemerintah dan perusahaan harus ingat bahwa ketahanan internal berasal dari diversifikasi, bukan konsentrasi di dalam negeri. Perusahaan malahan harus mendiversifikasi pemasok mereka di banyak area dan membiarkan pasar beradaptasi. Miopia dan insularitas saat ini sedang berlimpah. Jika kita merupakan konsumen barang dan ide global, sebagai warga dunia kita harus berharap fase globalisasi berikutnya melibatkan tingkat keterbukaan semaksimal mungkin. Kesetimbangan baru antara efisiensi dan keamanan adalah tujuan yang harus dicapai. Namun, penciptaan area baru bersubsidi tak akan membawa kesetimbangan baru ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: