Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Garap Prospek Bisnis Baterai Listrik, PAM Mineral Genjot Produksi Nikel di 2022

        Garap Prospek Bisnis Baterai Listrik, PAM Mineral Genjot Produksi Nikel di 2022 Kredit Foto: PAM Mineral
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Emiten pertambangan nikel PT PAM Mineral Tbk (NICL) akan meningkatkan kegiatan eksplorasi dan produksi di tahun ini seiring dengan pertumbuhan kinerja perusahaan dan tingginya kebutuhan nikel, terutama untuk industri manufaktur, konstruksi, dan bahan baku produksi baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

        PAM Mineral akan menggenjot produksi dan eksplorasi untuk menambah inventory atau cadangan yang berkelanjutan, dengan total target penjualan 1,5 juta ton bijih nikel, naik dari target 2021 sebanyak 1,3 juta ton.

        Target tahun ini terdiri dari 900.000 ton bijih nikel kadar tinggi (high grade, kandungan 1,5-1,75% Ni) dan 600.000 ton bijih nikel kadar rendah (low grade, kandungan di bawah 1,5% Ni). Khusus untuk kategori high grade hasil produksi NICL berhasil terjual habis sesuai dengan kontrak dengan pelanggan.

        Pada 2024, guna memperluas jangkauan pemasaran dan ikut menghasilkan Mix Hydroxide Precipitate/MHP (bahan baku pembuatan katoda baterai), NICL juga menargetkan penjualan 920.000 ton bijih nikel kadar tinggi.

        Baca Juga: Dorong Kendaraan Listrik, PLN Siap Pasok Listrik untuk Industri Nikel

        Direktur Utama PAM Mineral Ruddy Tjanaka mengatakan kebutuhan nikel mulai intensif dalam perkembangan industri hulu-hilir saat ini.

        “Kondisi ini membuat kami lebih optimistis ke depan ini akan ada nikel beserta turunannya yang akan menjadi salah satu primadona dari penggerak ekonomi Indonesia,” kata Ruddy usai Paparan Publik setelah Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), Rabu (6/7/2022).

        Dalam jangka panjang, kata Ruddy, prospek industri pertambangan dan produksi nikel akan positif lantaran tingginya kebutuhan nikel. Adapun saat ini, produksi NICL berasal dari dua entitas, yaitu dari pertambangan NICL sendiri dan PT Indrabakti Mustika (IBM), anak usaha NICL dengan kepemilikan langsung NICL 99,05% saham.

        Menurut Ruddy, prospek bisnis NICL akan ditopang oleh prospek tingginya permintaan bijih nikel kadar tinggi, terutama karena industri pengolahan (smelter). Hadirnya industri baterai nasional, seiring tumbuhnya smelter dengan teknologi hydrometalurgi, juga akan mendorong kinerja NICL dengan diserapnya nikel kadar rendah.

        Apalagi, menurut riset BloombergNEF, adopsi kendaraan listrik akan tumbuh dalam jangka panjang. Data Badan Energi Internasional (IEA) juga mengungkapkan EV menyumbang 2% lebih dari penjualan mobil global dan akan menjadi 58% di 2040.

        Data terbaru Ev-volume.com mencatat, hingga Desember 2021, penjualan EV tembus 6,75 juta unit, naik 118% dari 2020 hanya 3,1 juta unit. “Ini mengindikasi adanya peningkatan permintaan nikel untuk komponen baterai Nickel Metal Hydride untuk mengoperasikan kendaraan listrik,” kata Ruddy.

        Kinerja Kuartal I Meroket

        Dalam kesempatan tersebut, Direktur Keuangan NICL Herman Thio mengungkapkan perseroan meraih pendapatan bersih melesat 126,32% menjadi Rp 222,20 miliar di kuartal I-2022 dari kuartal I-2021 Rp 98,18 miliar.

        Pendapatan diperoleh dari sejumlah klien di antaranya PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy, PT Guang Ching Nikel and Stainless Steel, PT Kyara Sukses Mandiri, PT Sulawesi Mining Indonesia, dan PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel.

        Dengan kenaikan pendapatan ini, perseroan meraih laba usaha Rp 24,73 miliar, meroket 205,861% dari Rp 8,08 miliar dan laba bersih Rp 24,73 miliar, melesat 205,861% dari Rp 8,08 miliar. Aset NICL tercatat Rp 521,33 miliar, naik 25% dari Desember 2021 senilai Rp 417,35 miliar, sementara kas dan setara kas juga naik 40,11% menjadi Rp 138,54 miliar dari Rp 98,88 miliar.

        Tahun lalu, NICL mencatatkan pendapatan Rp 419,45 miliar, melonjak 123,09% dari Rp 188,02 miliar di 2020 dan laba bersih naik 42,14% menjadi Rp 45,50 miliar dari Rp 32,01 miliar. “Kinerja positif dipengaruhi peningkatan penjualan nikel. Tren positif ini diteruskan dari 2020 saat pendapatan kami naik signifikan sebesar Rp 188,02 miliar setelah penjualan nikel IBM dimulai,” kata Herman. 

        Baca Juga: Percepat Transisi Energi Bersih, Pemerintah Targetkan Enam Juta Unit Motor Listrik di 2025

        Terkait dengan dana penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) saat NICL listing 9 Juli 2021, IBM juga mendapatkan alokasi dana untuk eksplorasi penambahan cadangan bijih nikel di area blok kerja. Blok-blok ini memakai nama figur publik yakni BCL A, BCL B, Raisa, Kartini B, Tiara, dan Syahrini dengan total luas sekitar 51 hektare (ha) di dalam area pertambangan dengan IUP atas nama perseroan di Morowali.

        Adapun pada 2021, NICL tidak melaksanakan pembagian dividen atas laba bersih tahun 2020. Namun, kata Herman, sebagai perusahaan terbuka, di tahun- tahun mendatang dengan mempertimbangkan kemampuan perseroan dan aspek lainnya, perseroan membuka peluang untuk membayar dividen kepada pemegang saham, dengan pelaksanaan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: