Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Harga CPO Global Merosot, Apkasindo Minta Kebijakan DMO, DPO, dan FO Dievaluasi

        Harga CPO Global Merosot, Apkasindo Minta Kebijakan DMO, DPO, dan FO Dievaluasi Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) Gulat Manurung menyebut pemerintah harus segera mengevaluasi peraturan Domestic Price Obligation (DPO), Domestic Market Obligation (DMO), dan Flush Out (FO).

        "Melihat harga CPO Global yang cenderung turun pada dua minggu terakhir, telah semakin menguatkan argumen supaya DMO, DPO, dan FO segera dievaluasi," ujar Gulat saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (18/7/2022).

        Gulat melihat adanya kejanggalan di dalam peraturan tersebut, di mana jika dilihat berdasarkan filosofinya DMO dilakukan guna memastikan ketersediaan bahan baku minyak goreng sawit (MGS) domestik dengan patokan harga pembelian untuk bahan baku MGS tersebut sebesar Rp10.700 per kg CPO. Sementara sekarang harga CPO domestik dari tender KPBN sudah berada di angka Rp8.000 per kg. 

        Baca Juga: Apkasindo Apresiasi Penghapusan Pajak Ekspor CPO: Tapi Petani Masih Sangat Jauh dari Sejahtera

        "Terkait ke stok CPO Indonesia saat ini malah sangat berlimpah, sampai-sampai tangki timbun CPO di 1.118 PKS se-Indonesia sudah level merah. Kan aneh saja kita masih membebankan DMO dan DPO," ujarnya.

        Perlu diketahui bahwa stok CPO Indonesia per Awal Juli sebesar 12,4 juta ton, konsumsi per Juli ini sebesar 1,5 juta ton, berarti ada stok yang sangat berlimpah sebesar 10,9 juta ton. Normalnya stok dalam negeri 3-4 juta ton per bulan, berarti sudah 300 persen di atas normal. 

        "Jadi seharusnya regulasi DMO dan DPO harus segera dicabut karena faktanya DMO dan DPO ini selalu masuk dalam faktor pengurang saat tender seperti di KPBN," ungkapnya.

        Gulat melanjutkan, baik DMO maupun DPO sudah tidak relefan lagi, demikian juga dengan FO, tetap menjadi beban saat perhitungan harga CPO Indonesia. Padahal terakhir FO ini berlaku menurut regulasi PMK 102/2022 adalah akhir Juni, setelah itu tidak ada lagi FO. 

        Menurutnya, dengan pelaksanaan peraturan yang diberlakakukan pada Juli tersebut, menurut regulasi, semuanya sudah berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Namun, faktanya sama dengan DMO dan DPO, masih tetap FO digunakan sebagai faktor pengurang harga CPO di KPBN sampai dengan 15 Juli.

        "Gawatnya harga KPBN ini menjadi rujukan harga TBS Petani sesuai Permentan 01/2018, tentu wajar saja harga TBS kami petani semakin babak belur. Pemerintah saja tidak menggunakan harga KPBN saat menetapkan besaran BK dan PE, tapi kenapa kami petani disuruh memakai harga KPBN? Aneh kan? Jawabannya supaya harga TBS kami dapat dibeli murah," ujar Gulat.

        Lanjutnya, jika Indonesia menggunakan harga referensi Kemendag dan berpegang teguh pada regulasi bahwa baik DMO maupun DPO tidak berlaku lagi dan PMK 102/2022 memerintahkan bahwa FO per 1 Juli sudah tidak berlaku lagi, maka beban CPO Indonesia hanya Bea Keluar (US$288). 

        Dengan demikian, seharusnya harga TBS petani per 1 Juli–16 Juli sudah Rp3.380 per kg (nilai tukar US$15.000).

        "Per tanggal 18 Juli, sejak berlakunya Permenkeu Nomor 115/2022, harga TBS kami petani berada di angka Rp3.980 per kg. Harga ini pun demikian masih di bawah harga TBS petani sawit di Malaysia," tuturnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: