Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        AS Sebut Minoritas di Tiongkok Korban Genosida

        AS Sebut Minoritas di Tiongkok Korban Genosida Kredit Foto: Flickr/TravelingMipo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Xinjiang beberapa waktu lalu, menandakan penekanan baru pada asimilasi etnis Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya.

        Amerika Serikat (AS) dan negara-negara dunia lain menyebut Uighur dan minoritas di Tiongkok, adalah korban genosida yang sedang berlangsung hingga saat ini.

        Xi Jinping sendiri diketahui melakukan kunjungan mendadak ke Daerah Otonomi Uighur yang berada di wilayah Xinjiang (XUAR) barat, pada tangga 12-15 Juli 2022 lalu.

        Dalam lawatannya, Pemimpin Tiongkok tersebut menekankan “stabilitas sosial dan keamanan abadi sebagai tujuan menyeluruh” dari kebijakan Partai Komunis China (PKC), seperti dilansir oleh Kantor Berita resmi Xinhua.

        Kunjungan Xi Jinping ke Xinjiang adalah yang lawatan keduanya dalam delapan tahun terakhir ke wilayah tersebut, di mana pihak berwenang China telah menahan sedikitnya 1,8 juta orang Uighur dan minoritas muslim Turki lainnya di kamp-kamp interniran, sejak 2017.

        Penduduk di wilayah Xinjiang sendiri dilaporkan telah menjadi sasaran pelanggaran berat hak asasi manusia, penyiksaan dan kerja paksa, serta penghapusan tradisi linguistik, termasuk budaya dan agama mereka.

        Kekejian China ini disebut oleh Amerika Serikat dan beberapa parlemen negara-negara dunia lainnya sebagai aksi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

        Kepada Radio Free Asia (RFA), Seorang peneliti dari Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington DC, Andrian Zenz, mengatakan pernyataan Xi adalah penegasan yang sangat signifikan bahwa kebijakan Beijing benar dan harus terus diterapkan.

        “Ini adalah pernyataan pembangkangan dan kebanggaan. Pada dasarnya, Xi Jinping memberi isyarat bahwa tidak ada yang bisa ikut campur dalam kebijakan etnis China di Xinjiang dan bahwa garis merah Beijing ditegakkan dengan kuat,” kata Zenz kepada RFA.

        Sementara itu, media internasional lainnya melaporkan bahwa China telah meminta Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet untuk mengubur laporan ke Xinjiang, yang dia kunjungi pada bulan Mei.

        Surat yang ditulis oleh China menyatakan keprihatinan besar tentang laporan Xinjiang dan bertujuan untuk menghentikan rilisnya, di mana empat sumber mengatakan kepada kantor berita bahwa China mulai mengedarkannya di antara misi diplomatik dari akhir Juni dan meminta negara-negara untuk menandatanganinya untuk menunjukkan dukungan mereka.

        Presiden China Xi Jinping (tengah) memeriksa sebuah desa setempat di Turpan, Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang, China barat laut, 14 Juli 2022. Kredit: Kantor Berita Xinhua.

        Dalam sebuah utas tweet 16 Juli lalu, Seorang profesor sejarah di Universitas Georgetown yang berspesialisasi di Asia Tengah, James Millward, mencatat pendapat Xi Jinping yang menyatakan bahwa “Peradaban China adalah akar dari budaya semua kelompok etnis di Xinjiang” dalam pidatonya setelah perjalanannya untuk menggambarkan  hubungan orang Tionghoa non-Han di XUAR dengan Zhonghua, atau identitas Tionghoa.

        “Semua kelompok etnis di Xinjiang adalah anggota keluarga yang terkait dengan garis keturunan Tiongkok,” cuit Millward.

        “Saya menunjukkan pada saat itu bahwa dengan membangkitkan 'darah' dan 'anggota keluarga', frasa ini secara tidak langsung menyiratkan hubungan genetik antara orang-orang Asia Tengah yang sekarang diperintah oleh Partai Komunis Tiongkok dan 'Zhonghua,' yaitu, orang-orang Tiongkok," lanjutnya.

        Millward juga mencatat bahwa komentar Xi Jinping tentang perlunya mendidik dan membimbing pejabat dan massa untuk mengenali dengan benar sejarah Xinjiang, terutama sejarah perkembangan etnis, menunjukkan bahwa Tiongkok sekarang menekankan bahwa berbagai kelompok etnis adalah orang China.

        Apa yang disebut Xi sebagai 'Zhonghua', sekarang ada di mana-mana sebagai istilah budaya ahistoris generik yang setara dengan istilah bahasa barat 'China'.

        Analis China Ma Ju mengatakan Xi Jinping pergi ke Xinjiang dalam persiapan untuk Kongres ke-20 Partai Komunis China pada musim gugur, di mana Xi kemungkinan akan diangkat kembali untuk masa jabatan ketiga sebagai sekretaris jenderal partai dalam Kongres Rakyat akan bersidang Maret mendatang.

        “Pernyataan Xi Jinping yang dibuat setelah kunjungannya ke wilayah tersebut menunjukkan bahwa dia akan membasmi beberapa tokoh budaya yang tersisa dan berhati-hati setelah menyingkirkan elit Uyghur,” kata Ma kepada RFA.

        “Ini adalah kampanye pemberantasan.  Mereka akan melanjutkan kampanye pemberantasan ini seperti menyingkirkan peradaban bangsa lain [non-Han] dalam sejarah Tiongkok," ujarnya.

        Sementara Direktur Kongres Uighur Dunia di Inggris, Rahima Mahmut mengatakan acara-acara seperti tarian panggung Uighur yang digelar selama kunjungan Xi Jinping, diatur untuk tujuan propaganda.

         "Ini cukup sering terjadi. Hal yang sama tidak hanya untuk pejabat dari pemerintah pusat, tetapi juga untuk pejabat daerah.  Para mahasiswa dan artis Uighur dipaksa untuk menyambut pejabat tersebut, ungkap Mahmut.

        Rahima Mahmut memastikan tarian Uighur yang dipentaskan, dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa orang Uighur menikmati kehidupan bahagia yang normal.

        Akan tetapi Mahmut mengatakan ada hal yang aneh dan menakutkan saat melihat foto dan video Presiden China dengan sebagian besar orang Uighur lanjut usia di sekitarnya, karena para pemuda etnis minoritas ini tidak terlihat.

        “Ke mana para pemuda Uighur pergi? Yang benar adalah sebagian besar pria muda Uighur telah menghadapi penghilangan paksa. Mereka berada di kamp atau penjara. Ini cukup jelas,” katanya.

        Setelah kunjungan Xi ke XUAR, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada RFA bahwa AS akan terus bekerja untuk mempromosikan akuntabilitas penggunaan kerja paksa oleh pemerintah RRC (Republik Rakyat China) serta genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung terhadap Uyghur dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya di Xinjiang.

        Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai kegiatan apapun yang dilakukan oleh pemerintah China khususnya Presiden Xi Jinping kepada muslim Ughiur, sudah pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu, yakni mengubah pandangan dunia terhadap Tiongkok.

        Peneliti CENTRIS, AB solisa mengatakan bahwasannya China tidak akan mampu mengubah presepsi Negara negara dunia atas kekejian mereka terhadap muslim Ughiur dan Etnis Minoritas di negara tersebu.

        “Ibarat bau bangkai, kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan China sudah tercium kemana mana, sehingga sulit bagi Beijing untuk menutup nutupi atau menghilangkan tindakan keji mereka terhadap muslim Ughiur,”  kata AB solisa, Selasa, (3/8/2022). 

        “Negara-negara dunia khususnya Indonesia seyogyanya tidak termakan langkah gencar propaganda China, untuk mengubur kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan terhadap muslim Ughiur,” pungkas AB solisa.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: