Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pandemi Corona Bikin China Rugi Besar! Studi Ungkap Bukan Soal Ekonomi, tapi Bisa Bikin Ambruk China

        Pandemi Corona Bikin China Rugi Besar! Studi Ungkap Bukan Soal Ekonomi, tapi Bisa Bikin Ambruk China Kredit Foto: Reuters/Carlos Garcia Rawlins
        Warta Ekonomi, Beijing -

        Kebijakan penguncian atau lockdown yang dilakukan pemerintah China demi mengatasi Covid-19 nyatanya membawa dampak buruk. Generasi muda di negara itu telah mengalami gangguan kesehatan mental.

        Zhang Meng mengalami gangguan kesehatan mental Desember tahun lalu. Wanita berusia 20 tahun itu mendapati dirinya menangis terisak-isak di tangga asramanya. Dia merasa putus asa oleh lockdown.

        Baca Juga: Kecanduan Gawai Bisa Pengaruhi Kesehatan Mental Anak, Ini Ciri-cirinya

        Dengan kebijakan penguncian tersebut, maka Zhang tidak dapat bertemu dengan teman-temannya secara tatap muka. Zhang mengatakan, dia mendambakan interaksi sosial secara langsung.

        "Pembatasan telah melepaskan jaring pengaman yang menahan saya, dan saya merasa sangat rapuh," ujar Zhang.

        Pada Desember tahun lalu, Zhang didiagnosis dengan depresi berat dan kecemasan. Bagi Zhang, penguncian dan depresi telah benar menghancurkan pandangan hidupnya.

        Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Zhang berkeinginan untuk belajar bahasa dan sastra China. Namun dia kecewa dengan kebijakan pemerintah yang memberlakukan penguncian ketat secara berkala. Hal ini telah memicu minat Zhang untuk belajar di luar negeri.

        "Saya cukup patriotik ketika saya lulus dari sekolah menengah, tapi perasaan ini perlahan-lahan menghilang. Bukannya saya tidak percaya lagi kepada pemerintah, ini lebih merupakan perasaan bahwa bau masker dan sanitiser telah menembus jauh ke dalam tulang saya," kata Zhang.

        Serupa dengan Zhang, Yao, juga mengalami gangguan kesehatan mental. Yao yang hanya mengidentifikasi dirinya dengan nama depan, tidak dapat memahami mengapa kebijakan penguncian begitu sulit. Dia mengatakan bahwa, suatu hari dia harus bersembunyi di toilet sekolahnya dan menangis sangat kencang.

        Pada awal 2021 saat berada di universitas di Beijing, Yao mencoba bunuh diri. Dia tidak mampu menghilangkan depresi, dan kesedihannya karena tidak mengambil kursus yang dia inginkan. Ketika itu, Yao takut mengecewakan ayahnya.

        China telah menerapkan beberapa tindakan penguncian paling keras dan paling sering di dunia dengan tujuan untuk membasmi wabah Covid-19. China menerapkan kebijakan "nol Covid-19" dengan alasan menyelamatkan nyawa penduduknya. Hingga saat ini, China mencatat angka kematian akibat Covid-19 yang rendah yaitu sekitar 5.200.

        Dampak kebijakan lockdown yang ketat membuat para ahli medis khawatir dengan kesehatan mental kaum muda. Zhang dan Yao, telah menjadi korban dari kebijakan penguncian yang berkepanjangan.

        "Penguncian di China telah menimbulkan kerugian besar bagi manusia dengan bayang-bayang kesehatan mental yang berdampak buruk terhadap budaya dan ekonomi China selama bertahun-tahun yang akan datang," ujar pendapat editorial bulan Juni di jurnal medis Inggris Lancet.

        Secara khusus, para ahli mengkhawatirkan kesehatan mental remaja dan orang dewasa muda, yang lebih rentan karena usia mereka dan kurangnya kontrol atas kehidupan mereka. Mereka juga harus menghadapi tekanan pendidikan dan tekanan ekonomi yang jauh lebih besar daripada generasi sebelumnya.  

        Jumlah anak muda yang terkena dampak akibat kebijakan lockdown yang berkepanjangan berpotensi meningkat. Kementerian Pendidikan memperkirakan pada 2020, sekitar 220 juta anak-anak dan remaja China telah dikurung di rumah untuk jangka waktu yang lama karena pembatasan Covid-19. Kementerian Pendidikan tidak menanggapi permintaan Reuters untuk meminta update angka terbaru dan komentar tentang topik tersebut.

        Baca Juga: China Lockdown, Pasar Smartphone Anjlok Tajam di Kuartal Kedua

        Pembatasan Covid-19 terkadang memaksa kaum muda ke dalam situasi ekstrem. Selama penguncian dua bulan di Shanghai tahun ini, misalnya, remaja berusia 15 tahun hingga 18 tahun harus mengisolasi diri di hotel, karena mereka tidak diizinkan untuk kembali ke rumah. 

        "Mereka harus memasak untuk diri mereka sendiri dan tidak memiliki orang untuk diajak bicara, sehingga sebenarnya sangat sulit bagi mereka," kata Wakil Kepala Sekolah di sekolah internasional Lucton di Shanghai, Frank Feng.

        Sekitar 20 persen siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas China yang belajar dari jarak jauh selama penguncian memiliki ide untuk bunuh diri. Angka ini muncul berdasarkan survei terhadap 39.751 siswa yang dilakukan pada April 2020 dan diterbitkan dalam jurnal AS, Current Psychology pada Januari.  

        Ide bunuh diri yaitu ketika seseorang berpikir bahwa mereka akan lebih baik mati, meskipun orang tersebut mungkin tidak memiliki niat untuk bunuh diri pada saat itu.

        Secara lebih luas di seluruh kelompok usia, penelusuran untuk "konseling psikologis" di mesin pencari China Baidu meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam tujuh bulan pertama tahun 2022, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

        Bagi banyak remaja, penguncian Covid-19 telah terjadi selama tahun-tahun ujian yang kritis. Mereka menghadapi keputusasaan ketika tidak mengikuti ujian karena tertular Covid-19 atau dianggap sebagai kontak dekat, sehingga membuat banyak keluarga mengasingkan diri selama berbulan-bulan sebelum periode ujian. Hal ini memperparah tekanan akademis dan prospek pekerjaan yang suram. 

        Tingkat pengangguran secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Sementara tingkat pengangguran di perkotaan telah melonjak menjadi 19,9 persen atau mencapai level tertinggi dalam sejarah. Perusahaan jarang melakukan perekrutan karena pandemi Covid-19 dan tindakan keras peraturan pada sektor teknologi dan bimbingan belajar.

        Sebagian besar siswa juga merupakan anak tunggal, karena kebijakan satu anak di China pada 1980-2015. Dengan demikian, anak-anak tersebut harus membantu orang tua mereka di masa depan. Menurut survei Universitas Fudan terhadap sekitar 4.500 anak muda tahun ini, sekitar 70 persen menyatakan berbagai tingkat kecemasan.

        Pandemi dan penguncian juga dianggap memicu ketidakpuasan dengan tekanan kuat untuk bertahan hidup. Kementerian Pendidikan telah meluncurkan serangkaian langkah-langkah untuk meningkatkan kesehatan mental bagi siswa selama pandemi.

        Termasuk pengenalan kelas kesehatan mental wajib di perguruan tinggi dan upaya untuk meningkatkan jumlah konselor sekolah, terapis, dan psikiater.

        Kesehatan mental telah mendapat perhatian di China dalam 20 tahun terakhir. Upaya Kementerian Pendidikan untuk menyediakan konselor di sekolah masih relatif baru.

        Tahun lalu, sebagian besar sekolah tidak memiliki konselor. Pedoman yang diterbitkan pada Juni 2021 menyerukan rasio setidaknya 1 konselor per 4.000 siswa secara nasional.  

        Sebuah artikel pada 6 Juni di China Daily membahas dampak kesehatan mental akibat pembatasan Covid-19 pada kelompok rentan termasuk remaja.

        China Daily yang mengutip presiden Rumah Sakit Universitas Peking, Lu Lin, mengatakan, dampak kebijakan ketat Covid-19 pada kesehatan mental dapat berlangsung selama dua dekade.

        Data awal 2020 menunjukkan sepertiga warga yang diisolasi di rumah pernah mengalami kondisi gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan insomnia. Lu memperkirakan sebagian besar akan pulih setelah wabah mereda.

        Tetapi 10 persen tidak akan dapat sepenuhnya kembali normal. Lu memiliki pasien remaja yang telah kecanduan bermain game, sehingga mengalami kesulitan tidur, sedih, dan enggan keluar rumah.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: