Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menilai Prabowo Subianto calon presiden yang konsisten memiliki elektabilitas tinggi. Namun elektabilitas yang tinggi belum menjamin Prabowo nantinya terpilih menjadi presiden.
"Kasus Pilpres 2014 dan 2019 membuktikan, elektabilitas Prabowo yang tinggi namun akhirnya dikalahkan Joko Widodo. Prabowo harus menelan kekalahan yang menyakitkan," katanya.
Ia menyebut ada empat faktor penyebabnya.
Pertama, Prabowo elektabilitasnya tinggi tapi cenderung stagnan. Di awal elektabilitasnya tinggi, namun disaat mendekati hari H elektabilitasnya stagnan sehingga dilampaui kompetitornya.
Artinya, elektabilitas Prabowo saat ini berpeluang tidak meningkat. Sementara kompetitornya baru memulai sehingga elektabilitasnya berpeluang untuk ditingkatkan.
Dua, ada peluang kejenuhan terhadap Prabowo. Hal itu disebabkan sudah berulangnya ia ikut kontestasi Capres.
Kelompok masyarakat yang jenuh tersebut tentunya akan mencari Capres lain yang dinilai lebih menjanjikan.
Tiga, ada sekelompok masyarakat yang kecewa terhadap Prabowo. Mereka ini kecewa karena Prabowo bergabung kepada Jokowi. Kelompok yang kecewa tersebut relatif banyak. Mereka ini tampaknya akan memilih Capres lain.
Empat, faktor usia juga akan membuat nilai jual Prabowo akan semakin menurun. Hal itu setidaknya datang dari pemilih pemula dan muda yang justru dominan pada Pilpres 2024.
Jadi, sebagian pemilik pemula dan muda diperkirakan akan memilih Capres yang lebih muda. Karena itu, peluang Prabowo dipilih kelompok pemula dan muda tampaknya relatif kecil.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: