Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Program BLT Bukan Kerugian Keuangan Negara

        Program BLT Bukan Kerugian Keuangan Negara Kredit Foto: Dokumen Pribadi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ada yang menarik dalam sidang perkara kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil alias CPO) dan turunannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, yakni penghitungan kerugian keuangan negara didasarkan pada bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 6 triliun untuk membantu masyarakat menghadapi lonjakan harga minyak goreng.

        Begitu juga dengan penghitungan kerugian perekonomian negara dari penerbitan persetujuan ekspor CPO yang cantumkan dalam surat dakwaan sebesar Rp12,3 triliun. 

        Padahal, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 hasil penghjitungan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara korupsi harus nyata dan pasti. Sementara penyaluran BLT merupakan kebijakan pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab ketika melihat dan merasakan kesulitan yang dialami masyarakat. 

        “Bagaimana hal itu kemudian dianggap sebagai kerugian keuangan negara dengan jumlah yang sangat fantastis. Apalagi, penghitungannya dilakukan seolah-olah ekspor CPO beserta turunannya sama dengan penjulan produk terlarang,” kata Praktisi hukum Dr. Hotman Sitorus, S.H., MH., melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi, 29/9/2022.

        Menurut Hotman, dakwaan dengan menggunakan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor bukan hanya berlebihan, tetapi justru melawan hukum.  

        Apalagi dalam beberapa kesaksian, terungkap bahwa jika proses pengurusan PE CPO telah sesuai dengan prosedur. Sehingga dugaan korupsi dalam pengurusan PE CPO tidak terpenuhi. 

        Dia menjelaskan, jika besarnya kerugian keuangan negara yang didakwa sebesar Rp. 6.194.850.000.000 yang diatribusikan kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda.

        Besaran kerugian keuangan Negara yang merupakan total anggaran pengeluaran pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang disalurkan kepada 20,5 juta keluarga yang masuk dalam Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) dan Program keluarga Harapan serta 2,5 juta Pedagang kali lima yang berjualan makanan gorengan sebesar Rp. 100.000 perbulan diberikan selama 3 bulan untuk April, Mei,  Juni dibayar dimuka pada bulan April 2022 sebesar Rp. 300,000,-

        Meskipun pemberian BLT berdasarkan arahan Presiden tanggal 01 April 2022 yang ditindaklanjuti Menteri Sosial dengan Keputusan Menteri Sosial tanggal 7 April nomor : 54/HUK/2022 tentang Penyaluran Bantuan Program Sembako Periode Bulan April, Mei, Juni yang kemudian dengan petunjuk teknis dari Direktur Penanganan Fakir Miskin Nomor : 41/6/SK/HK.01/4/2022 dengan total anggaran BLT khusus minyak goreng sebesar Rp. 6.194.850.000.000,- namun demikian didalilkan sebagai kerugian keuangan negara.

        “Dengan kata lain, kerugian keuangan negara muncul karena ada BLT. Tidak ada BLT maka tidak ada kerugian keuangan negara. Sehingga, jika tidak ada kerugian keuangan negara maka tidak ada korupsi. Kalau memang BLT adalah kerugian keuangan negara mengapa pemerintah menyalurkan BLT,” kata Hotman.

        Disamping kerugian keuangan Negara, Jaksa mendalilkan juga kerugian perekonomian negara sebesar Rp. 12.312.053.298.925 yang juga diatribusi kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda yang merupakan hasil kajian dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada tanggal 15 Juli 2022 yang dihitung selama periode 15 Februari s.d. 30 Maret 2022. 

        “Pertanyaannya adalah sejauh mana validitas hasil kajian ini. Menarik untuk diuji di pengadilan, sebelum dijadikan referensi untuk menentukan kerugian perekonomian negara,” katanya.

        Ia menjelaskan, dalam setiap pidana korupsi, setidaknya tetap harus ada  unsur, Pebuatan Melawan Hukum (PMH), Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, dan  Memperkaya diri sendiri atau orang lain.

        “Tanpa ada pebuatan melawan hukum, Tanpa ada kerugian keuangan negara dan tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak ada yang korupsi. Ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan,” jelas Hotman.

        Tetapi dalam beberapa kali persidangan, lanjut Hotman, bisa dikatakan ketiga unsur kabur. Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara satu unsur dengan unsur lain. Tidak terdapat hubungan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dengan kerugian keuangan negara.  

        “Sehingga, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian keuangan negara dengan memperkaya perusahaan,” kata Hotman. 

        Hotman mengatakan, terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO tak bisa dijatuhi sanksi pidana karena berstatus korban inkonsistensi kebijakan di Kementerian Perdagangan (Kemendag).  

        Tuduhan korupsi Persetujuan Ekspor (PE) minyak goreng berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20% kewajiban DMO, dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya. 

        “Aturan tersebut, syarat mutlak bagi para produsen CPO, dan turunannya, untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya kelangkaan, dan pelambungan harga tinggi komoditas minyak goreng sejak akhir 2021 lalu,” kata Hotman. 

        Akademisi Universitas Indonesia yang juga Ketua Tim Peneliti LPEM-UI Eugenia Mardanugraha menilai gonta-ganti kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) menimbulkan risiko ketidakpastian dan menciptakan inefisiensi dalam perdagangan minyak sawit. 

        Karena selama lebih dari 6 bulan diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini justru membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

        Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan  petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS. Hal ini karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan.

        “Karena terbukti in-efisiensi, Sebaliknya kebijakan DMO dan DPO dihapus. Jika ini dilakukan, otomatis, harga TBS akan naik dengan sendirinya serta produktivitas dan kesejahteraan petani meningkat,” katanya. 

        Petani sawit jelas pihak yang paling dirugikan dalam larangan ekspor CPO yang jika ditotal lebih besar daripada  BLT yang dikucurkan kepada masyarakat terkait BLT minyak goreng.

        Tentu kalau Presiden melalui APBN memberikan BLT menjadi kerugian keuangan negara mengapa  BLT malah dianggarkan dan dilanjutkan seperti BLT kenaikan BBM sampai saat ini. Tentunya harus fair dihitung juga kerugian masyarakat khususnya petani sawit sebagai pihak yang paling dirugikan akibat larangan ekspor.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: