Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sri Mulyani Sebut 3 Negara Terancam Resesi di Tahun 2023, Indonesia Termasuk?

        Sri Mulyani Sebut 3 Negara Terancam Resesi di Tahun 2023, Indonesia Termasuk? Kredit Foto: Kemenkeu
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, risiko dari kondisi ekonomi global yang sebelumnya dipengaruhi oleh pandemi Covid-19, saat ini bergeser kepada kondisi perekonomian yang sangat dipengaruhi oleh gejolak ekonomi global, yang berasal dari disrupsi sisi supply, perang yang terjadi atau geopolitik yang makin meningkat. Ia menyebut, geopolitik telah menyebabkan disrupsi sisi supply menjadi semakin parah.

        "Dan ini menyebabkan kenaikan harga-harga, terutama komoditas yang sangat penting, seperti pangan dan energi yang mendorong inflasi secara luar biasa sangat cepat dan tinggi," kata Sri Mulyani dalam Seminar Nasional dan Konferensi tentang "Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Pembangunan Berkelanjutan", dipantau secara daring, Rabu (19/10/2022).

        Baca Juga: Sri Mulyani Dorong Kerja Sama Multilateral Atasi Ancaman Resesi

        Sri Mulyani menyebut, sebelumnya beberapa policy maker sempat sedikit terlena, karena inflasi yang sebelumnya dianggap bersifat temporer, tapi ternyata inflasi menjadi jauh lebih tinggi dan diperkirakan sifatnya lebih permanen. "Namun ternyata inflasi ini tidak hanya karena permintaan yang tertahan, namun juga disrupsi supply yang jauh lebih akut dan jauh lebih fundamental, yang kemudian menyebabkan inflasi menjadi jauh lebih tinggi dan diperkirakan sifatnya lebih permanen," lanjutnya. 

        Di dalam pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 keempat di Washington DC, Amerika Serikat (AS) kemarin, Sri Mulyani mengatakan, terlihat sekali dominasi pembahasannya ialah mengenai, inflasi melonjak tinggi yang harus dikendalikan, dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian yang mengalami konsekuensi. 

        "Tadinya bicara soft landing,  sekarang menjadi agak sulit, sehingga resesi itu sudah mulai sering muncul kata-kata itu, dan yang ketiga juga bisa tekanan terhadap sistem keuangan yang harus diwaspadai," ujarnya.

        Ekonomi global menjadi luar biasa kompleks, dengan inflasi tinggi, resesi, hingga stagflasi, sementara ruang dari kebijakan fiskal dan moneter menjadi semakin terbatas karena sudah digunakan sejak tahun 2008-2009, saat global financial crisis, dan kemudian dipakai lagi secara luar biasa saat pandemi. Dengan adanya situasi seperti ini, Sri Mulyani memprediksi outlook ekonomi global direvisi ke bawah.

        Baca Juga: Sri Mulyani: Tantangan Ekonomi Global Tak Bisa Diselesaikan oleh Satu atau Beberapa Negara

        "Kalau kita lihat revisinya cukup tajam di hampir semua negara, Amerika Serikat menurun tajam di Tahun 2022 dan 2023, bahkan sekarang kata-kata resesi bukannya tidak mungkin di Amerika Serikat," ucap bendahara negara Indonesia.

        Tidak jauh berbeda dengan Eropa, akibat inflasi tinggi yang memaksa bank sentral menaikkan suku bunga secara agresif. Eropa juga diprediksi kemungkinan terjadi resesi.

        Kemudian, Tiongkok yang sekarang sedang di dalam pembahasan mengenai bagaimana kepemimpinan nasional-nya, sudah mengalami perlemahan dari perekonomian, baik karena lockdown maupun karena juga kondisi dunia, serta sektor properti yang telah menimbulkan dampak luar biasa. 

        Baca Juga: Sri Mulyani Pimpin Pembahasan Usulan PED untuk AFMGM 2023, Berikut 3 Usulannya!

        "Angka kuartal ketiga belum keluar. Namun, diperkirakan akan cukup tajam melemah. inilah yang mungkin kita perlu waspadai, meskipun Indonesia sampai dengan tahun 2022 dan 2023 masih diprediksikan tumbuh di atas 5%. Kita tahu bahwa faktor eksternal menjadi sangat dominan, dan ini tentu mempengaruhi bagaimana kinerja ekonomi kita," ucapnya.

        Penurunan proyeksi terjadi di semua negara, baik itu negara maju, maupun negara-negara berkembang. Sebagai contoh yang terjadi di negara maju seperti Inggris, dengan terjadinya krisis APBN yang ada di Inggris, kemungkinan akan mengalami revisi ke bawah. Hal ini karena guncangan yang terjadi akibat APBN mereka yang tidak kredibel dan dipaksa, kemudian harus berubah.

        Baca Juga: Sri Mulyani: Dunia Harus Percepat Transisi Energi Terbarukan

        Demikian juga dengan negara-negara berkembang yang juga mengalami kondisi yang relatif ditekan, meskipun di dalam situasi saat ini, negara berkembang seperti Indonesia, India, Brazil, Meksiko relatif dalam situasi yang cukup baik. Namun tidak berarti negara-negara tersebut tidak terpengaruh oleh kondisi eksternal yang memang masih bergejolak. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Martyasari Rizky
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: