- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Power Wheeling Jadi Batu Hambatan Pengesahan RUU EBT, Pengamat Respons Begini
Lambannya penyerahan daftar isian masalah (DIM) Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) karena ada permasalahan yang belum selesai di pemerintah terkait Power Wheeling sangat disesali.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyesali tindakan Kementerian Keuangan yang belum menyetujui DIM RUU EBT karena Power Wheeling dengan dalih PLN sedang mengalami over capacity.
"Padahal kita tahu persis bahwa persoalan over capacity itu kan bukan selama-lamanya, kita bicara undang-undang yang akan berlaku cukup lama paling tidak 10 tahun ke depan setelah dia diundangkan sementara over capacity kan tidak selama itu," ujar Fabby saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (28/10/2022).
Baca Juga: Power Wheeling Jadi Pertimbangan RUU EBT, Presiden Harus Turun Tangan
Fabby juga mempertanyakan perihal keberatan Kemenkeu akan Power Wheeling tersebut, apakah Kemenkeu sudah melakukan studi kajian. Bukan hanya itu, jika fokus dari Kemenkeu, kebijakan tersebut akan merugikan PLN juga menjadi pertanyaan.
"Bukankah itu bagus untuk PLN ke depannya karena kemudian dia bisa menyewakan jaringan tenaga listrik itu dan sekaligus power wheeling itu bisa menaikan target energi terbarukan dan mendukung transisi energi," ujarnya.
Lanjutnya, Fabby menilai bahwa Power Wheeling itu diperlukan sehingga pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya bergantung pada PLN, tapi bisa mendorong berbagai pihak untuk memanfaatkan energi terbarukan.
"Kan power wheeling itu penggunaan jaringan bersama khususnya untuk industri, mereka bisa untuk membeli langsung energi terbarukan ya dari pihak lain dengan menggunakan power wheeling, dan di sini juga akan mendorong PLN untuk lebih cepat mengadopsi pembangkit energi terbarukan," ucapnya.
Adapun alasan industri ataupun konsumen membutuhkan energi terbarukan karena untuk menurunkan emisi rumah kaca, sementara intensitas emisi listrik PLN tinggi 0,8 juta ton per MWh, sedangkan Vietnam 0,55 juta ton per MWh, jadi selisihhya dengan Indonesia 30 persen.
Menurutnya, industri yang berorientasi ekspor, mereka ingin menurunkan kadar karbon dari listrik. Di mana jika PLN tidak cepat menurunkan kadar karbon tersebut, maka mereka kemungkinan besar akan mencari sumber lain.
Sumber lain dari energi yang bisa dipakai oleh industri tersebut, salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau dengan membeli listrik energi hijau.
"Sekarang kan tidak bisa dilakukan itu dengan direct per case, dengan power wheeling, opsi itu dimungkinkan bahkan PLN pun sebenarnya bisa mendapatkan manfaat, jadi industri bisa beli langsung dari anak perusahaan PLN yang menggunakan energi terbarukan tapi menggunakan skema power wheeling, jadi pilihan opsinya banyak terkait power wheeling, swasta bisa mengembangkan, anak perusahaan PLN bisa mengembangkan, dan dengan itu PLN bisa mengoptimalkan jaringanya," ungkapnya.
"Transmisi itu kan orang bayar power wheeling, kan PLN seperti jalan tol sudah saya charge saja per kwhnya, per kwhnya berapa kan bisa diatur nanti pentarifanya," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti