Anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai Rp502 triliun tidak dirasakan masyarakat bawah. Untuk itu, pemerintah harus mengubah skema subsidi ini menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin.
"Viskal Indonesia untuk membayar subsidi sekitar Rp502triliun. Kalau anggaran itu digunakan untuk pertanian dan nelayan, bisa berdampak ekonomis yang tinggi bagi masyarakat bawah," kata Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan pada diskusi virtual bertajuk "Urgensi Subsidi Tepat Sasaran di Tengah Krisis Energi Global".
Ia mengatakan dalam konteks energi fosil atau minyak bumi, pandangan masyarakat menilai sumbernya masih banyak. Padahal penilaian itu keliru karena sumur energi itu semakin tua dan menyusut.
Menurut dia, Indonesia sempat menjadi produsen minyak dengan lebih 1juta barel per hari. Namun kini hanya 600ribu barel per hari.
"Ditambah belum memiliki kilang pengelolaan yang mumpuni sehingga belum mandiri dalam sektor energi. Berbeda jauh dengan Singapura yang mandiri sehingga menjadi pengekspor minyak. Padahal Singapura tidak memiliki sumur minyak," jelasnya.
Kemudian, kata dia, subsidi BBM tidak memenuhi harapan masyarakat bawah. Survei yang dilakukan pada 2021 dengan 300 nelayan memetakan penyaluran BBM bersubsidi dengan 5900an responden. Hasilnya 82% nelayan kecil tidak memiliki akses untuk BBM bersubsidi.
"Nelayan Indonesia hanya berlayar di wilayah kepualaun bukan di zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang sumber daya ikannya jauh lebih kaya. Ditambah mereka haeus membeli BBM, solar khususnya, dengan harga Rp6.800. Sebelum naik Rp5.150 namun harus membelinya dengan harga 6ribu hingga 7ribu rupiah," paparnya.
Artinya, lanjut dia, kalau harga solar sekarang Rp6.800 lebih murah sebelum kenaikan harganya. Namun itu artinya juga nelayan sekarang harus membeli solar itu mencapai Rp9.000.
Nelayan kecil yang hidupnya jauh lebih sulit, harus membeli BBM jauh di atas harga pasar. Faktornya karena nelayan harus mendapatkan surat untuk mendapatkan subsidi solar yang membuat rumit para nelayan, aksesnya jauh dan bahkan tidak mengetahui adanya BBM bersubsidi.
"Mahasiswa atau orang kota apakah harus menunjukkan SIM atau KTP untuk membeli pertalite? Tapi nelayan untuk mendapatkan solar harus menunjukkan surat rekomendasi. Nelayan harus ke darat dulu untuk mendatangi kantor dinas perikanan terlebih dulu sebelum membeli solar. Itu pun banyak syarat-syaratnya," katanya.
Rata-rata subsidi solar kurang lebih 15,5 juta liter selama lima tahun terakhir, hanya 12% atau 1,9 juta liter yang diperuntukkan ke sektor perikanan. "Tapi dari jumlah tersebut yang terserap hanya 2% dan sisanya entah menguap ke mana. Pun SPBU untuk nelayan pun sangat langka dan sulit dijangkau," jelasnya.
Pada kesempatan sama, Pengamat Ekonomi Energi, Mawardi mengatakan subsidi energi langsung tunai lebih tepat sasaran dibandingkan lewat BBM. Pasalnya sekitar 60% konsumsi BBM diserap sektor transportasi.
"Jika subsidi langsung seperti untuk rumah tangga miskin itu mempunyai fleksibilitas dalam membelanjakan. Sementara subsidi BBM rawan akan terjadinya deviasi seperti inovasi tangki kendaraan dan lainnya juga lebih banyak dinikmati kalangan masyarakat mampu," paparnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: