Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka membacakan orasi kebudayaan bertajuk "Indarung: Bung Karno, Peci dan Semen" di Indarung Art Market Festival 2022, Kamis (17/11/2022). Acara digelar di bekas Pabrik Indarung I, PT Semen Padang, Sumatera Barat.
Pabrik Indarung l merupakan cikal bakal pabrik semen pertama di Asia Tenggara ini. Rieke yang juga aktivis budaya ini begitu lantang berorasi.
Indarung Art Market Festival 2022 digelar 17-20 November 2022. Selain orasi budaya dari Rieke, juga ada FGD, pertunjukan mural, film, Arsip visual, pameran foto, dan pasar seni.
Berikut orasi kebudayaan yang disampaikan Rieke Diah Pitaloka:
Infrastruktur adalah hajat hidup rakyat, dan hajat hidup rakyat berupa infrastruktur itu jelas butuh semen. Tak ada satu pun bidang pembangunan fisik yang tidak membutuhkan semen.
Saya jadi teringat kata-kata Bung Karno dalam pidato di hadapan para pemuda di Surakarta pada 11 Juli 1960.
"Mana bisa membuat gedung ini kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pabrik kalau tidak ada semen. Mana bisa bikin jembatan kalau tidak ada semen; mana bisa membuat landasan kapal udara kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pelabuhan jikalau tidak ada semen."
Saya tambahkan, membangun jalur logistik pangan nasional pun butuh semen, bangun papan atau perumahan butuh semen, bangun sekolah dan universitas untuk hak rakyat atas pendidikan pun butuh semen, bangun musium, pusat-pusat kebudayaan pun butuh semen, bangun puskesmas dan rumah sakit untuk penuhi hak rakyat pun butuh semen.
Membangun perkantoran pemerintahan pun butuh semen. Bahkan, membangun ibukota negara pun siapa yang pungkiri kita butuh semen.
Pendek kata, semen adalah salah satu kebutuhan dasar bagi dijalankannya pembangunan infrastruktur yang tidak terpisahkan dari pembangunan manusia dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Semen adalah material vital yang dibutuhkan untuk mengeksplorasi potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi yang pada pasal 33 konstitusi kita dinyatakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sekarang, tempat ini telah berusia 112 tahun. Tulang dari besi-besi berkarat yang mencuat ke langit tinggi. Rangka perut dari silo-silonya telah berlumut, dan tinggal menunggu diserap tanah, kemudian hilang ditelan sejarah.
Saya bersedia menyampaikan orasi kebudayaan di Indarung Art Market Festival, sesungguhnya karena saya sedang kumpulkan energi perjuangan lewat memori sejarah atas Indarung, memori sejarah perjuangan rakyat Ranah Minang.
Saya tidak mau Indarung hilang dari sejarah. Saya tidak mau Indarung dilupakan. Saya butuh energi semangat dan kecintaan tanah air yang terekam di besi berkarat Indarung.
Kemarin saya berada di Bali dalam rangkaian perjuangan bersama jejaring intelektual kolektif implementatif memperjuangkan norma yuridis Sistem Penyelenggaraan Pemerintah Daerah berbasis Data Desa/Kota Presisi, yang saat ini masih terganjal di pintu masuk istana, agar tak sampai ke meja Paduka Yang Mulia, Bapak Presiden Republik Indonesia.
Hampir saja saya menyerah, namun tiba-tiba saya ingat, bahwa hari ini saya akan berada di Indarung, dan seketika ingatan itu membangkitkan ingatan lama saya pada penampilan Bung Karno dengan peci hitam bersama 513 orang pendiri bangsa lainnya.
Saya seperti digugah kesadaran bahwa di balik angka dalam data negara, ada nasib dan nyawa jutaan rakyat yang dipertarungkan. Perjuangan ini berat saudara-saudara, bicara angka dalam data adalah tentang pendataan yang memakan triliunan uang rakyat.
Angka dalam data negara artinya juga alokasi ribuan triliun uang rakyat untuk biayai pembangunan di segala bidang. Data yang tidak akurat dan aktual adalah pintu masuk raibnya uang hasil keringat rakyat di pelosok tanah air.
Angka-angka yang tak gambarkan kebutuhan dan kondisi riil rakyat, angka-angka yang jadi permainan statistik meta kapital negara, angka yang dijadikan alat rekolonialisasi, penjajahan ulang terhadap rakyat kita di desa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: