Anggota Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) dari Aspadin Jawa Tengah dengan tegas menolak wacana kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan mewajibkan pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang.
Alasannya, kebijakan ini jelas akan merugikan industri yang memproduksi kemasan ini dan belum adanya bukti empiris bahwa air galon guna ulang ini menyebabkan gangguan kesehatan bagi para konsumen.
“Paparan yang disampaikan BPOM terkait adanya bahaya kesehatan kemasan galon guna ulang ini terkesan hanya untuk menakut-nakuti masyarakat saja. Hal itu terlihat dari semua paparan yang disampaikan BPOM tidak ada bukti empirisnya," kata anggota Gapmmi yang juga pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) DPD Jawa Tengah, Willy Bintoro Chandra, dalam keterangan media, Kamis (15/12/2022).
"Termasuk bukti dari peneliti UGM yang mengatakan bahwa air kemasan ini bisa menyebabkan infertilitas, ini juga tidak ada bukti empirisnya sama sekali,” tambahnya.
Dia menceritakan apa yang terjadi dalam acara diskusi pelabelan BPA galon guna ulang yang digelar BPOM di Yogyakarta baru-baru ini.
Saat itu, BPOM menghadirkan narasumbernya adalah peneliti dari Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Ayu Puspandari, yang menyampaikan hasil kajiannya dengan menghitung burden of disease atau beban biaya penyakit dari dampak paparan BPA.
Menurutnya, beban biaya kesehatan terkait infertilitas yang disebabkan paparan BPA air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang mencapai Rp 16 sampai dengan Rp 30,6 triliun.
“Saya langsung protes saat itu. Saya bilang ke dia, kalau bicara di depan umum itu harus jelas, benar dan ada bukti empirisnya. Saya minta papernya ke dia, tapi nggak dikasih. Jadi, saya menganggap apa yang disampaikan peneliti UGM saat itu bohong-bohongan doang,” ujarnya.
Willy menegaskan bahwa belum ada bukti sampai saat ini yang menyatakan AMDK galon guna ulang ini telah menyebabkan infertilitas. Jadi, bagaimana mungkin sesuatu yang belum ada buktinya, ada peneliti yang dengan bangganya bisa menghitung kerugian kesehatan yang disebabkan.
“Ini kan hanya menakut-nakuti masyarakat namanya dan membuat gaduh saja karena tidak ada buktinya sama sekali,” katanya.
Saat itu, menurut Willy, tidak ada tanggapan sama sekali dari peneliti UGM terkait pertanyaan yang disampaikannya itu. Saat itu hanya diam saja dan moderatornya hanya menyampaikan semua masukan akan ditampung dan dikaji lagi.
Saat itu, Kepala Balai Besar POM Yogyakarta juga hanya membacakan paparan yang sama seperti yang disampaikan BPOM Pusat pada acara-acara serupa, di mana BPOM telah menemukan migrasi BPA yang melebihi batas ambang aman di enam kota di Indonesia, yaitu Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.
“Saya tanyakan, itu yang diperiksa galon grade 1,2,3,4 atau 5? Karena penyebarannya kan ada di daerah-daerah yang jauh dari Jawa. Tapi dia nggak bisa jawab. Ini kan aneh, sampaikan paparan hasil penelitian, tapi nggak bisa menjawab pertanyaan saya itu,” tuturnya.
Willy mengatakan ada beberapa jenis kualitas galon guna ulang yang digunakan para industri AMDK yang ada di seluruh Indonesia, mulai dari kualitas paling rendah (grade 5) hingga kualitas paling baik (grade 1).
Dikatakan, jika itu dilakukan di daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa, itu sama sekali nggak bisa jawab.
"Bisa jadi yang diperiksa BPOM itu galon yang grade 5 atau yang paling murah, di mana galonnya yang rusak saat didaur ulang,” ungkapnya.
Karenanya, dia menilai sosialisasi pelabelan BPA galon guna ulang yang dilakukan BPOM di beberapa daerah ini hanya membuang-buang uang negara saja. Willy menghormati bahwa BPOM itu pembuat dari regulasi.
Tapi, saya minta regulasi yang dibuat itu juga harus berasaskan keadilan. Dia menegaskan saat itu bahwa Aspadin sebagai anggota Gapmmi menolak wacana pelabelan BPA galon guna ulang itu karena ini sangat berbahaya bagi bisnis mereka.
Willy menyampaikan industri tidak keberatan kalau BPOM memang mau memperkecil batas ambang aman migrasi BPA pada galon guna ulang.
Tapi, jika yang disasar itu adalah pelabelan BPA-nya, menurutnya, industri pasti akan menolaknya.
“Saya sampai tekankan dua kali itu saat itu bahwa Aspadin sebagai anggota Gapmmi menolak adanya labelisasi itu.
"Kalau memang persyaratannya yang mau diperkecil ya monggo, tapi harus jelas besarannya itu berapa. Jadi, jangan yang disasar itu cara pelabelannya seperti yang dilakukan saat ini,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: