Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jelang 2023, Bagaimana Situasi Tech Winter Indonesia Saat Ini?

        Jelang 2023, Bagaimana Situasi Tech Winter Indonesia Saat Ini? Kredit Foto: Unsplash/Daniel Korpai
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Tech winter kini tengah menjadi perbincangan hangat yang cukup menyita banyak perhatian masyarakat, di mana perusahaan rintisan (startup) dan teknologi digital mulai berguguran satu per satu di tengah gejolak ekonomi yang terjadi, menyebabkan berbagai dampak ekonomi-sosial baru di masyarakat.

        Fenomena tech winter di Indonesia saat ini

        Menilai situasi yang terjadi saat ini, Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi menyampaikan bahwa melihat pada keadaan sekarang di mana ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja, begitupun dengan ekonomi digital global yang tengah menghadapi banyak permasalahan, ekonomi digital Indonesia pun turut berada di situasi yang tidak baik-baik saja.

        Secara global, kita telah melihat berbagai perusahaan digital dunia seperti Meta, Twitter, Amazon, bahkan sampai Microsoft telah mengalami krisis yang berujung pada tindakan efisiensi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya. Hal yang sama pun terjadi di Indonesia, di mana tidak hanya startup saja, namun perusahaan yang sudah mendapat gelar unicorn dan decacorn pun tidak terlepas dari krisis yang sama.

        Baca Juga: Diterpa Tech Winter, Menkominfo Sebut 5 Segmen Fintech Indonesia Raih CAGR 39%

        "Jadi diakui atau tidak, winter is coming. Jadi memang [saat ini adalah] masa-masa berat teknologi digital, ekonomi digital, termasuk Indonesia, [winter] ini akan [datang], kita sedang memasuki fase-fase tersebut," tutur Heru kepada Warta Ekonomi pada Selasa (13/12/2022).

        Di Indonesia sendiri, peringatan-peringatan terhadap situasi yang akan terjadi di tahun depan, termasuk tech winter sudah banyak diumumkan kepada publik agar publik mampu menyiapkan diri menghadapi gelombang buruk yang bisa datang kapan saja. Berbagai prediksi dan proyeksi ekonomi yang gelap pun terus bermunculan, yang juga turut muncul berbagai optimisme dari masyarakat.

        "Memang masih belum bisa diprediksi dampak krisis global terhadap Indonesia ini seperti apa. Walaupun memang kita kuarta ketiga ekonomi Indonesia tetap bergerak 5,7% sehingga masih ada harapan, hanya saja kalau kita lihat di dalamnya itu kan komponen-komponen yang tetap bergerak ini, yang tumbuh adalah industri pertambangan, perdagangan, pertanian, sementara sektor infokom turun dari 6% menjadi 4%, sehingga memang ya bisa jadi kita tidak terdampak sama sekali, tapi diyakini akan ada perlambangan ekonomi juga bagi Indonesia. Terutama karena berdampak pun kita tidak bisa lepas dari perekonomian global yang mungkin akan memiliki dampak atau efek domino," terang Heru.

        Persiapan dan resolusi yang diperlukan untuk menghadapi tahun 2023

        Heru menyatakan bahwa dampak yang akan diterima Indonesia nantinya di tahun 2023 dari apa yang terjadi secara global tergantung pada persiapan Indonesia dalam menghadapi dan mempersiapkan tahun 2023 mendatang.

        Dalam hal ini, meski secara fundamental ekonomi digital Indonesia cukup bagus, namun Indonesia masih bisa menghapi kemungkinan dampak krisis termasuk yang menyangkut pada efisiesi dengan cara PHK dan juga adanya perlemahan daya beli masyarakat. Setidaknya ini adalah ancaman paling nyata yang harus dipersiapkan dalam menghadapinya.

        Sementara itu pengamat ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda kepada Warta Ekonomi pada Selasa (13/12/2022) menyampaikan bahwa, "fenomena tech winter akan tergantung dengan kebijakan pengetatan uang yang dilakukan oleh bank sentral".

        Dalam hal ini, Nailul merujuk pada kebijakan suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh bank sentral seperti bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (the Fed).

        Upaya yang paling banyak dilakukan perusahaan saat ini dengan efisiensi seperti PHK massal, Heru menilai adalah sebagai akibat dari salah langkah yang telah diambil perusahaan dalam pengaturan manajemen perusahaan sebelumnya. Di mana perusahaan sangat jor-joran dalam membakar uang, pemborosan pada fasilitas yang tidak diperlukan, biaya manajemen yang tinggi, dan segala macam bentuk pemborosan pada sistem marketing perusahaan.

        "Selain itu juga masalah pendanaan, karena tidak ada lagi pendanaan baru, walaupun ada [pendanaan baru namun] sangat kompetitif sehingga memang startup didorong untuk segera mempersiapkan diri untuk melantai di bursa atau mendapatkan pendanaan model lain yang bisa membuat startup tetap tumbuh," terang Heru.

        Heru menambahkan, "tentu startup-startup yang ada menghadapi keadaan tech winter itu tentu mereka harus melakukan instropeksi diri, ecaluasi apa yang menjadi kelebihan, kekurangan, tantangan, kemudian juga harapan."

        Pengaturan manajemen keuangan harus diperketat dan dijalankan seefisien dan seefektif mungkin. Heru menyampaikan, melihat kondisi saat ini, bukan saja tech winter yang terjadi, melainkan juga investment winter atau mungkin economy winter secara general.

        Hal ini memungkinkan untuk terjadi karena beberapa konflik yang menyebabkan gelombang krisis belum dapat diprediksi kapan akan berakhir, misalnya seperti konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina. Sehingga persiapan untuk skenario terburuk pun diperlukan.

        "Ini kan memang [suatu hal] yang harus kita waspadai, kita optimis bahwa startup Indonesia bisa tetap survive di tahun 2023, tetap bisa maju, tapi tetap memang kita juga harus realistis untuk waspada dan berhati-hati," tekan Heru.

        Peluang startup di tengah situasi dan gejolak yang terjadi dan tantangan di masa depan

        Di sisi lain, melihat pada peluang bagi startup di tahun depan, Nailul mengatakan, "melihat harga minyak yang turun akhir-akhir nampaknya ada peluang the Fed untuk menahan suku bunga. Namun dengan suku bunga yang tinggi sekarang, sulit melihat investasi di startup digital meningkat. Makanya startup digital perlu memikirkan strategi yang lebih sustain dengan mulai membuat exit strategy dari kerugian yang masih tinggi. Perlu membuat path menuju keuntungan".

        Selaras dengan pernyataan Nailul, Heru turut menyampaikan, "kekacauan startup bisa saja terjadi [di tahun depan] bilamana tadi masalah [tersebut terjadi] kalau kita prediksi. Startup itu masanya dua tahun untuk mereka menentukan bertahan atau stop [...] Kalau misalnya belum ada pendanaan, mereka biasanya punya peluang untuk mengembangkan dua tahun, jadi kalau tidak dapat pendanaan sampai dua tahun, ya [perusahaan akan melakukan efisiensi dengan] PHK atau perusahaannya bisa tumbang atau tutup. Itu bisa saja terjadi."

        Apabila kekacauan di industri startup terus berlangsung hingga tahun depan, Heru menyampaikan bahwa dalam persoalan ini Pemerintah sudah harus turun tangan untuk memberikan jalan keluar dari permasalahan yang ada.

        Karena bagaimana pun, startup telah memiliki peran yang signifikan terhadap sosial-ekonomi negara. Kekacauan startup tentu akan berdampak pada masyarakat, termasuk pada PHK massal yang akan menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dan juga penurunan daya beli masyarakat.

        Menegaskan kembali peluang startup untuk tahun depan, pada Rabu (14/12/2022) kepada Warta Ekonomi, Nailul menyampaikan, "akan bergantung dari the Fed. Kalau melihat harga minyak yang turun saya bisa berharap the Fed tidak akan menaikkan suku bunga. Syukur-syukur bisa menurunkan suku bunga". Dalam hal ini, startup masih memiliki harapan pada acuan ekonomi global saat ini.

         

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Tri Nurdianti
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: