- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Ini Respons Negara Produsen Sawit Nomor 2 Dunia terhadap Kebijakan Baru Uni Eropa
Produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, Malaysia, mengatakan bahwa Uni Eropa (UE) telah memblokir akses pasar minyak nabati melalui kebijakan yang baru disepakatinya pada 6 Desember lalu.
Dalam Undang-undang baru tersebut, UE mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan rantai pasokan mereka tidak berkontribusi terhadap perusakan hutan, atau berisiko terkena denda yang besar. Peraturan tersebut akan berlaku untuk kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, kakao dan kopi serta beberapa produk turunannya.
Baca Juga: Mengenal Impor Minyak Sawit dalam Kawasan yang Terapkan Deforestation Free
Sebelumnya, dalam laman Reuters, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Komoditas Malaysia, Fadillah Yusof, mengatakan hal ini akan mempengaruhi perdagangan bebas dan adil, serta berdampak buruk pada rantai pasokan global.
"Peraturan Produk Bebas Deforestasi adalah tindakan sengaja Eropa untuk memblokir akses pasar, merugikan petani kecil dan melindungi pasar biji minyak dalam negeri yang tidak efisien dan tidak dapat bersaing dengan harga minyak sawit," katanya, dalam sebuah pernyataan, dilansir Reuters.
Baca Juga: Ada Kelapa Sawit, Uni Eropa Resmi Setujui UU Terkait Deforestasi
Minyak kelapa sawit, yang digunakan sebagai bahan baku banyak produk, mulai dari kue hingga kosmetik dan bahan bakar, merupakan minyak nabati termurah di dunia. Namun, kelompok lingkungan menyalahkan proses budidaya yang berdampak pada deforestasi yang meluas.
Duta Besar Uni Eropa untuk Malaysia, Michalis Rokas, pada Rabu menanggapi pernyataan tersebut dan mengatakan klaim larangan minyak sawit tidak benar dan menyesatkan.
"Minyak sawit yang diproduksi secara legal dan bebas deforestasi akan terus ditempatkan di pasar UE," kata Rokas, dilansir dari laman Reuters.
Banyak perusahaan kelapa sawit di produsen utama Indonesia dan Malaysia telah mengadopsi standar sertifikasi keberlanjutan global dan nasional dan telah berkomitmen pada kebijakan tanpa deforestasi. Namun, Fadillah mengatakan peraturan tersebut akan menambah beban eksportir Malaysia.
Baca Juga: Sektor Sawit Berkelanjutan Turut Dorong Kinerja Positif PDB Nasional
"Ini akan menyinggung Malaysia jika minyak sawit, atau negaranya, ditetapkan sebagai risiko tinggi oleh Peraturan UE," katanya.
Undang-undang baru ini muncul di atas arahan energi terbarukan UE yang mewajibkan bahan bakar berbasis minyak sawit dihapuskan pada 2030. Akibatnya, impor minyak sawit UE menyusut dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: BPDPKS Proyeksikan Pertumbuhan Produksi Sawit Akan Meroket pada Tahun 2023
Malaysia dan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menggelar kasus terpisah dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan mengatakan tindakan UE itu diskriminatif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: