IFSOC: Masih Ada Tantangan Ekonomi Digital dan Fintech Indonesia pada Tahun 2023, Apa Saja?
Dalam acara media briefing tentang "Catatan Akhir Tahun 2022 Fintech dan Ekonomi Digital", Indonesia Fintech Society (IFSOC) memberikan apresiasinya pada ekonomi digital Indonesia yang bertumbuh 22% mencapai US$77 miliar. Menjadi bagian dari ekonomi digital ini, fintech turut tumbuh secara progresif dan eksponensial yang tentu menunjukkan geliat positif dari pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi.
Namun tentu saja, meski saat ini ekonomi digital dan fintech telah tumbuh secara positif dan diproyeksi akan terus memiliki prospek yang bagus pada tahun 2023, masih ada beberapa tantangan mendasar yang harus diperhatikan. Tirta Segara selaku steering committee IFSOC menyampaikan bahwa tantangan yang pertama adalah terkait dengan literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih jauh lebih rendah dibandingkankan dengan inklusi keuangannya.
Baca Juga: Awas! Scam Robocaller Terus Meningkat, Target Berikutnya Mengincar Kripto!
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, indeks literasi Indonesia telah mengalami peningkatan pada tahun 2022, dari 38,03% pada tahun 2019 menjadi 49,68% pada tahun 2022. Sedangkan untuk indeks inklusi keuangan, dari 76,19% pada tahun 2019 menjadi 85,10% pada tahun 2022. Dengan ini menghasilkan gap antara literasi dan inklusi dari 38,16% pada tahun 2019 menjadi 35,42% pada tahun 2022.
"Kami bersyukur di Undang-Undang PPSK itu sudah diamanatkan bahwa masing-masing entitas industri itu wajib melakukan edukasi. Jadi nanti siapa pun yang di bawah pengaturan, ada pengawasan otoritas, itu nanti dia diwajibkan melakukan edukasi. Itu setiap tahun ada diatur nanti berapa kali. Tapi undang-undangnya sudah meng-cover itu, menerapkan itu," tutur Tirta dalam acara media briefing pada Selasa (27/12/2022).
Tantangan yang kedua adalah clustering, di mana menurut Tirta saat ini tidak ada atau mungkin belum semua kluster di industri fintech memiliki pengampu. Dalam hal ini misalkan saja adalah OJK yang nantinya hanya akan mengampu terkait dengan kluster yang sifatnya prinsipil, aktivitas, dan integratif. Pun yang sifatnya memiliki aktivitas pasti tidak jauh hanya dari aktivitas di bidang keuangan karena mandat OJK berada di bidang keuangan.
"Jadi saya tidak tahu nanti apakah misalnya kluster untuk agregasi, kluster untuk robo-advisor yang dia itu trading-nya komoditas bukan trading keuangan. Apakah itu nanti masih ada pengampunya. Tetapi kalau yang aset kripto, kluster yang aset-aset tadi sudah jelas nanti akan diamanatkan di OJK karena itu di bawah ITSK. Tapi kan banyak fintech yang financial tapi itu financial-nya itu dari sisi aktivitasnya itu ternyata dia hanya bentuknya advice bukan aktivitas, nah itu yang nanti ke depan OJK mesti kita ajak diskusi lagi supaya nanti semua yang namanya fin dan tech itu masuknya ya ke Otoritas Jasa Keuangan, dicakup di sana," ujar Tirta.
Pendapat dari steering committee IFSOC lain, Dyah N K Makhijani menyampaikan, "ada tiga yang saya lihat tentu saja di dalam setiap pertumbuhan fintech. Namanya juga tech, tech itu selalu berhadapan dengan cyberrisk. Jadi cyberrisk itu merupakan bagian yang tidak terlepas dari fintech. Jadi di situ adalah tantangan-tantangan yang harus dihadapi.
Dyah menambahkan, "Kemudian adalah nanti bagaimana perjalanan dari Undang-Undang PDP. Jadi perjalanan Undang-Undang PDP ini, ini nanti juga merupakan sebuah suatu hal yang memang harus menjadi pendorong buat fintech bukan menjadi penghukum, kira-kira begitu. Karena kalau misal kita sudah menjalankan cyber defense kita sudah sangat kuat di masing-masing kita, terus kita masih di-hack, ya janganlah kita kena hukuman bagi orang-orang yang sudah taat dan patuh,"
Untuk tantangan kedua, Dyah mengatakan tantangan fintech ke depan adalah terkait dengan sprout teknologi, di mana di dalam dunia teknologi ada banyak sekali jenis yang bisa dijadikan sprout. Untuk tantangan ketiga, Dyah menyampaikan terkait dengan prudential bagi fintech lending di Indonesia untuk terus diperhatikan.
Sementara itu menambahkan penjelasan terkait dengan tantangan dari industri fintech dan ekonomi digital Indonesia pada tahun 2023, Ketua steering committee IFSOC, Rudiantara mengatakan bahwa teknologi juga menjadi "risiko" karena layanan keuangan akan menyasar the bottom of pyramid yang masih belum melek teknologi, di mana indeks digital Indonesia saat ini 3,49 dari skala 5. Padahal jika ingin dikembangkan dan diadopsi secara massal, pemanfaatan teknologi sangatlah diperlukan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Lestari Ningsih