Bejat! Guru Agama di Trenggalek Diduga Cabuli 5 Siswa di Perpustakaan, Ini Langkah Kemen-PPPA
Seorang guru Agama berinisial AS (50) di sebuah sekolah dasar (SD) di Kecamanatan Bendungan, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap lima anak didiknya. Terkini, kelima korban mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen-PPPA, Nahar, mengatakan bahwa Kemen-PPPA telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Trenggalek terkait penanganan kondisi korban.
Baca Juga: Komitmen Menteri PPPA Tahun 2023: Wujudkan Sinergi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
"P2TP2A Kabupaten Trenggalek telah melakukan pendampingan psikologis pada korban dan juga melakukan edukasi tentang kekerasan di sekolah tempat kejadian perkara. Hal ini menjadi perhatian kami, agar pemulihan korban dari dampak psikis berkepanjangan dapat segera ditangani secara komprehensif," kata Nahar dalam keterangannya, Jumat (3/2/2023).
Lima pelajar SD yang menjadi korban pencabulan oleh guru terjadi di ruang guru dan perpustakaan sekolah. Pencabulan terjadi beberapa kali dengan alasan merapikan buku di perpustakaan dengan upah Rp5ribu–10ribu. Sangat menyedihkan, kekerasan seksual itu terjadi berkali-kali di tempat yang sama.
"Saat peristiwa terjadi pelaku mengunci ruangan, mengancam korban agar tidak melapor dan bahkan diancam dengan pisau yang menyebabkan korban sangat ketakutan," kata Nahar.
Akibat peristiwa tersebut, para korban mengalami perubahan perilaku seperti ketakutan, konsentrasi belajar yang terganggu, nafsu makan menurun, bahkan ironisnya ada korban yang mulai terpengaruh secara seksual.
Sementera itu, pelaku kini dijatuhkan sanksi penonaktifan sementara oleh dinas pendidikan setempat. Guru tersebut terancam sanksi berat jika terbukti melakukan dugaan tindakan pencabulan terhadap siswa seperti yang dituduhkan.
Terduga pelaku dapat dipidana dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 82 ayat (1), (2), (4) dan (6) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara. Selain pidana penjara, terduga pelaku dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Nahar mengatakan, korban juga berhak mendapatkan ganti kerugian dan biaya perawatan medis dan/atau psikologi atas tindak pidana yang dialaminya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Puri Mei Setyaningrum