Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, meminta kepada pemerintah untuk betul-betul serius menyikapi melonjaknya alokasi dan anggaran subsidi, khususnya untuk BBM penugasan (pertalite) yang tidak tepat sasaran. Dia menilai, hal tersebut menjadi persoalan yang belum kunjung selesai. Sementara, neraca perdagangan migas kian tertekan, keuangan negara sangat terbebani.
Jika hal tersebut terus berulang, kata Syarief, rakyat kecil yang akan terus menjadi korbannya. Dia mempertanyakan apa regulasi menjadi kendalanya, atau murni kinerja kelembagaan hilir migas yang tidak optimal. Dia menegaskan, hal tersebut mesti dicarikan solusinya.
Baca Juga: Ekonom: Fluktuasi Harga BBM Nonsubsidi Untungkan Masyarakat
"Faktanya kuota pertalite sudah jebol. Sepanjang 2022, serapan pertalite mencapai 29,48 juta kilo liter, jauh melampaui kuota yang ditentukan sebesar 23,05 juta kilo liter. Perkara menambah kuota hanya membawa dampak membengkaknya anggaran subsidi. Ini tentu bukan hal yang baik," katanya.
"Sejatinya perencanaan itu harus dapat memitigasi kondisi yang akan terjadi. Penambahan kuota ini hanya menjelaskan ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun anggaran yang presisi dan tepat arah," jelas Syarief melanjutkan, dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/2/2023).
Dalam catatan Institute for Energy Economics and Financial Analyis (IEEFA), papar Syarief, konsumsi BBM di Indonesia memang termasuk yang paling boros. Rata-rata penggunaan BBM untuk kendaraan ringan konvesional di Indonesia mencapai lebih dari 8 liter per 100 kilometer. Bandingkan dengan India, kata Syarief, yang konsumsi BBM hanya rata-rata 6 liter per 100 kilometer.
Dia mengartikan, Indonesia jauh lebih boros 40 persen. Syarief menegaskan, hal sosiologis seperti ini harusnya dicermati dan menjadi masukan kebijakan.
Dia menilai, dengan realisasi anggaran subsidi dan kompensasi BBM yang mencapai Rp322,4 triliun pada 2022, perkara konsumsi BBM ini sudah sangat serius dan mencekam. Angka ini melonjak jauh dibandingkan rencana sebesar Rp267,1 triliun pada APBN 2022.
Hal tersebut menggambarkan, kata Syarief, ada sejumlah Rp55,3 triliun biaya subsidi yang membengkak. Karenanya, penting untuk alokasi dan pengawasan penggunaan BBM subsidi. Jika ternyata perilaku konsumsi BBM warga boros, lakukan sosialisasi, edukasi terarah, serta penggunaan instrumen pembatasan yang tepat.
"Negara telah memberikan mandat kepada BPH Migas untuk mengatur dan menetapkan ketersediaan dan distribusi BBM, serta fungsi pengawasannya. Begitu dengan Pertamina yang diberikan tugas penyediaan dan distribusi BBM penugasan sesuai amanat Perpres 191/2014," katanya.
"Kalau saja perkaranya pada perencanaan kuota subsidi yang kurang presisi, tentu ini menjadi catatan serius bagi pemerintah dalam memahami pola perilaku konsumsi BBM di Indonesia. Atau jika memang regulasi ini kurang memberikan mandat dan kewenangan pengawasan dan penindakan, tentu revisi Perpres adalah keharusan. Jangan sampai rakyat yang terus menjadi korban," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum