Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Demi Tingkatkan Minat Masyarakat, Pemerintah Mutlak Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik

        Demi Tingkatkan Minat Masyarakat, Pemerintah Mutlak Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik Kredit Foto: Antara//Nyoman Hendra Wibowo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pembangunan ekosistem kendaraan listrik mutlak dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik, mempercepat pemerataan infrastruktur, dan mengembangkan industri kendaraan listrik dalam negeri.

        Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, IESR dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 mencatat ketergantungan terhadap impor bahan bakar telah memicu terjadinya inflasi pada akhir tahun 2022 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.

        Konsumsi BBM meningkat rata-rata 1,2 juta kiloliter per tahun antara 2015 dan 2020. Menurutnya, kenaikan nilai impor BBM menyebabkan devisa tergerus, melemahnya nilai tukar, dan memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM, yang berdampak pada inflasi. 

        Baca Juga: Langkah-langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah untuk Bisa Meningkatkan Adopsi Kendaraan Listrik

        "Karena penyesuaian harga BBM tidak populer secara politik dan berdampak pada daya beli masyarakat, lazimnya pemerintah menjadikan ini sebagai pilihan terakhir dan untuk menutupi selisih harga jual dan biaya pengadaan BBM," ujar Fabby dalam webinar, Selasa (21/2/2023). 

        Fabby mengatakan, subsidi yang diberikan oleh pemerintah menggerus kapasitas fiskal APBN. Berbagai dampak ini bisa dihindari jika impor BBM dipangkas drastis. 

        "Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dan menyubstitusi kendaraan motor berbahan bakar minyak,” ujarnya.

        Sementara itu, Peneliti Kebijakan Lingkungan, IESR Ilham R F Surya mengatakan, jika dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak, kendaraan listrik lebih baik dalam menekan emisi dan rendah biaya operasional.

        Menurutnya, analisis IESR menunjukkan kendaraan listrik mengeluarkan emisi 7 persen lebih sedikit dan biaya operasional per km-nya 14 persen lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak.

        "Hanya saja karena ketersediaan model kendaraan listrik yang terbatas, infrastruktur yang minim, serta investasi awal yang tinggi, membuat masyarakat enggan beralih ke kendaraan listrik," ujar Ilham.

        Ilham mengatakan, pemerintah perlu melihat aspek pasokan (supply) dari industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan tidak hanya permintaan (demand) masyarakat saja. 

        Menurutnya, insentif potongan pajak bagi mobil listrik dan Rp7 juta bagi motor listrik sudah tepat. Namun, eligibilitas merek (brand) mobil atau motor apa saja yang bisa menjadi penerima insentif harus diperhatikan.

        "Pemberian insentif ini harus dikaitkan dengan pengembangan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hanya brand dengan kandungan TKDN tertentu yang boleh memperoleh insentif tersebut,” ujarnya.

        Selain itu, konversi motor listrik dapat menjadi alternatif lain elektrifikasi dengan harga yang lebih murah. Selain itu, konversi motor juga menjadi sarana peremajaan motor-motor yang lebih tua.  

        Ditinjau dari infrastruktur kendaraan listrik, meski instalasinya meningkat 200 persen dibandingkan 2021, namun lokasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) belum tersebar merata. 88 persen SPKLU masih terkonsentrasi di Jakarta dan Bali.

        Selain itu, pemanfaatan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) masih belum standar dan hanya berlaku untuk merek tertentu.

        “Pemerintah perlu mempermudah investasi SPKLU salah satunya adalah mengubah kewajiban pemasangan tiga jenis port berbeda di tiap unit SPKLU yang tercantum di Permen ESDM Nomor 13/2020. Kewajiban adanya tiga port membuat biaya investasi membengkak sampai Rp750 juta-1,5 miliar per SPKLU. Padahal tidak semua lokasi memerlukan tiga jenis port sekaligus. Jika tidak ada kewajiban tersebut, maka dengan nilai investasi yang sama, jumlah SPKLU yang dibangun bisa 3-4 kali lebih banyak,” ucapnya.

        Lanjutnya, standardisasi SPBKLU dapat dimulai dari motor listrik berkapasitas baterai 1,2 kWh atau 1,44 kWh yang saat ini menguasai 79 persen motor listrik di pasaran, sehingga tidak terlalu menyulitkan manufaktur.

        "Pemerintah perlu juga melakukan standardisasi bentuk dan ukuran baterai hingga konfigurasi elektrik di dalamnya," ungkapnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: