Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Upaya Xi Jinping 'Pepet' Orang-orang China Seberang Lautan Bakal Melempem di Indonesia, Pakar Bilang Begini

        Upaya Xi Jinping 'Pepet' Orang-orang China Seberang Lautan Bakal Melempem di Indonesia, Pakar Bilang Begini Kredit Foto: FSI
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan pemerintahan Presiden Xi Jinping terhadap orang-orang Tionghoa seberang lautan (Chinese Overseas) makin jauh berbeda dari kebijakan yang diambil para pemimpin-pemimpin China yang lalu, kata Ketua FSI Johanes Herlijanto, Ph.D.

        Pada masa lampau, terang Johanes, terdapat pembedaan yang jelas antara orang-orang Tionghoa. Ada orang Tionghoa yang disebut huaqiao (warga negara China perantauan), yang lain adalah huaren (etnik Tionghoa) dan huayi (keturunan Tionghoa), yang keduanya merujuk pada orang-orang Tionghoa yang tidak berkewarganegaraan China, sehingga pembeda tersebut menjadi kabur.

        Baca Juga: Utusan Xi Jinping: Hubungan China dan Rusia Makin Solid karena...

        Dalam berbagai pidato dan pernyataan, baik Xi sendiri maupun para pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya seringkali menggunakan istilah-istilah yang menegaskan kembali hubungan antara China dan orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apapun kewarganegaraan mereka. 

        Padahal saat masih berada di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China telah secara tegas melepaskan pengakuannya atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Pengakuan tersebut tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980. 

        Johanes , dalam seminar bertajuk “Kebijakan Kewarganegaraan Tiongkok dan Etnik Tionghoa di Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI), di Cikini, Jakarta, Sabtu (25/2/2023), mengatakan bahwa perubahan kebijakan terkait orang-orang Tionghoa di luar China itu terlihat jelas tak lama setelah Xi dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi Republik Rakyat China (RRC) untuk pertama kalinya. 

        “Segera setelah berada di tampuk kekuasaannya pada 2013, Xi mempopulerkan konsep 'Impian China' (China Dream) yang bertujuan pada peremajaan kembali (rejuvenation) bangsa China. Dalam upaya peremajaan kembali bangsa China inilah Xi mempopulerkan konsep ‘satu keluarga besar Tionghoa’ (Zhonghua da jiating), yang merujuk pada seluruh orang-orang Tionghoa tak peduli apapun status kewarganegaraan mereka,” tuturnya. 

        Johanes, yang menjadi dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH), bahwa Beijing di bawah Xi juga menggunakan istilah ‘saudara sebangsa dari seberang lautan’ (haiwai qiaobao) untuk merujuk pada etnik Tionghoa di berbagai belahan dunia.

        Merujuk Profesor Leo Suryadinata, Johanes menyampaikan bahwa pada tahun 2014, Xi pernah mengatakan bahwa China yang bersatu adalah akar bersama dari putra dan putri China di dalam dan di luar China. 

        “Dalam pandangan Profesor Suryadinata, Xi menggunakan istilah putra putra China (Zhonghua ernu) untuk merujuk baik orang-orang Tionghoa yang berada di China maupun yang berada di luar China,” pungkas Johanes

        Selaras dengan Xi, para pejabat tinggi China lain juga menekankan sikap yang sama dalam pernyataan-pernyataan mereka dalam sepuluh tahun belakangan ini.

        Kembali merujuk pada Suryadinata, Johanes mengatakan, “Pada 2015, di hadapan para pengusaha Tionghoa dari berbagai belahan dunia, Perdana Menteri Li Keqiang menyampaikan harapannya agar para pebisnis Tionghoa seberang lautan berperan sebagai ‘kekuatan baru yang efektif’ bagi transformasi ekonomi dan pembangunan di China.”  

        Sementara itu, dalam sebuah pidato pada September 2015, Duta Besar China untuk Malaysia menyatakan penekanan berikut “...huaqiao dan huaren, ke mana pun kalian pergi, tak peduli sudah berapa generasi kah kalian, China akan selamanya menjadi rumah ibu yang hangat bagi kalian.” 

        Johanes menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan serupa pernah pula disampaikan oleh para pejabat CHina di Indonesia.

        “Menurut catatan Profesor Suryadinata, pada April 2012, Direktur dari Kantor Urusan Tionghoa Perantauan Beijing, Li Yinze, menganjurkan generasi muda Tionghoa Indonesia untuk belajar Bahasa Mandarin demi memperkuat identifikasi mereka dengan bangsa China,” papar Johanes. 

        Ia juga menyinggung pernyataan seorang pejabat lain pada 2015, yang menyatakan bahwa “Tanah leluhur tidak akan pernah melupakan kontribusi besar dari huaqia dan huaren di luar negeri. China akan selalu menjadi pendukung kuat (strong backer) bagi masyarakat keturunan Tionghoa di luar negeri.”   

        Johanes mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara China dan etnik Tionghoa di luar China itu tentu dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan elit politik di negara tempat orang-orang Tionghoa tersebut tinggal. Namun demikian, menurutnya, kekhawatian di atas bukanlah tanpa jalan keluar. 

        “Dalam kasus Indonesia, makin kuatnya akar kebangsaan Indonesia di kalangan seluruh etnik Tionghoa kiranya dapat menjadi sebuah penangkal yang jitu baik terhadap kecurigaan yang muncul di kalangan non Tionghoa,” pungkas Johanes. 

        Baca Juga: Media Amerika: Xi Jinping dan Vladimir Putin Agendakan Pertemuan di Moskow

        Menyambung Johanes, pembicara berikutnya, Michael Andrew, berpandangan bahwa dalam kasus di Indonesia, etnik Tionghoa telah mengalami berbagai peristiwa kontekstualisasi sehingga memiliki nasionalisme keindonesiaan yang mengakar. 

        “Baik Tionghoa maupun komponen bangsa Indonesia lainnya dihimbau untuk mejalankan panggilan bersama untuk membangun bangsa dan negara, di tengah-tengah arus globalisasi dan tarik-menarik kekuatan-kekuatan dunia,” imbauan itu disampaikan oleh Michael Andrew, aktivis dan co-founder Roemah Bhineka.

        Apalagi, menurut Michael, orang-orang Tionghoa Indonesia telah berkontribusi dalam berbagai bidang di Indonesia, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan bidang-bidang lainnya. Oleh karenanya mereka akan berpikir berkali kali menanggapi upaya China untuk mendekati orang-orang Tionghoa di Indonesia.

        “Apalagi Tionghoa Indonesia sudah berpisah sangat lama dengan China dan masyarakatnya sehingga memiliki kebudayaan yang saling berbeda,” tuturnya. 

        Sebagai pamungkas, Michael menghimbau agar baik orang Tionghoa maupun non Tionghoa agar tetap mengutamakan keberpihakan pada Indonesia.

        “Jangan pernah lelah mencintai bangsa  dan negara ini karena Indonesia akan maju jika orang-orang Indonesia, apapun sukunya, agamanya, golongannya, benar-benar memiliki kecintaan kepada bangsa dan negaranya,” katanya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Muhammad Syahrianto
        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: