Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        INDEF: EWA Bisa Jadi Solusi Menutup Celah Pinjol Ilegal yang Marak di Kalangan Pekerja

        INDEF: EWA Bisa Jadi Solusi Menutup Celah Pinjol Ilegal yang Marak di Kalangan Pekerja Kredit Foto: Unsplash/Towfiqu barbhuiya
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Earned Wage Access (EWA) atau program pengaturan pemberian gaji lebih awal untuk karyawan dari tanggal yang telah ditentukan kini telah menjadi suatu inovasi bagi industri teknologi keuangan.

        Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyampaikan bahwa EWA dapat menjadi solusi untuk menutup celah maraknya pinjaman online ilegal yang menjamur di masyarakat saat ini, khususnya di kalangan karyawan Indonesia.

        Meski pertumbuhan perekonomian nasional telah tumbuh mencapai 5,3% pada tahun 2022, di mana Bank Indonesia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan tetap menguat pada tahun 2023 berkisar antara 4,5-5,3% di tengah pemulihan ekonomi global, namun rupanya ekonomi konsumsi Indonesia masih berada di bawah 5%. Artinya bahwa ekonomi konsumsi masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara nasional, menandakan bahwa ada hal yang menekan konsumsi masyarakat.

        Baca Juga: Daya Beli Masyarakat Masih Rendah, INDEF Dorong Pemerintah Atur Strategi Baru

        "Salah satu faktor yang saya kira menjadi dasar kenapa konsumsi turun di samping peningkatan harga bahan bakar dan sebagainya, satu hal lain adalah bahwa para pekerja, para masyarakat kita tidak memiliki cadangan dana yang cukup untuk membeli kebutuhan hari-hari ke depan. Kita lihat satu fakta dampak ekonomi lebih besar bahwa cadangan dana kita hanya tujuh hari ke depan dan apalagi bahwa akses ke lembaga keuangan sangat terbatas terutama untuk kredit konsumsi maupun hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan mereka," tutur Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad pada Selasa (28/2/2023).

        Tauhid menerangkan bahwa dengan situasi demikian, hal tersebut dapat membuka ruang bagi pinjaman ilegal maupun pinjaman online ilegal untuk masuk ke seluruh lini pekerja. Hal ini dapat memberikan kerugian dan beban yang besar, mengingat akses keuangan digital tersebut dapat membebani suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kredit konsumsi yang diajukan oleh perbankan.

        "Saya kira dengan situasi ini perlu ada terobosan, perlu ada satu inovasi di bidang keuangan ini muncul. Saya kira EWA menjadi salah satu solusi yang mungkin nanti bisa jadi salah satu jalan keluar agar para pekerja kita jauh lebih sejahtera dan jauh lebih nyaman apalagi di tengah situasi saat ini terutama bagi industri-industri yang terpapar oleh masa resesi global," ujar Tauhid.

        Berdasarkan hasil survei mengenai peluang EWA di Indonesia yang dilakukan oleh GajiGesa bersama dengan INDEF, mencatat bahwa hampir 35% pekerja dewasa di Indonesia tidak puas dengan upah mereka saat ini dan merasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar mereka. Selain itu, ketidakpuasan juga dipengaruhi oleh kenaikan harga barang yang tidak sejalan dengan kenaikan pendapatan secara bertahap.

        Adapun sebuah laporan yang dirilis oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa pendapatan tenaga kerja Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sebagai perbandingan, rata-rata pekerja Indonesia menghasilkan US$385 atau sekitar Rp5 juta per bulan sementara pekerja Malaysia berpenghasilan sekitar Rp18 juta per bulan.

        Pendapatan rata-rata pekerja Indonesia yang rendah ini pun mendorong permintaan pinjaman yang tinggi, di mana 60% pekerja aktif berhutang. Findex Global Bank Dunia pada tahun lalu melaporkan bahwa hanya 14% pekerja dewasa Indonesia memiliki akses ke bank, sementara sisanya harus bergantung pada pemberi pinjaman informal yang menjebak mereka berada di dalam lingkaran setan di bawah kondisi predator.

        Peneliti Center of Digital Economy and SME INDEF Izzudin Al Farras Adha menerangkan bahwa dengan pendapatan pekerja yang relatif rendah, kemampuan mereka untuk menyisihkan dana keadaan darurat juga menjadi mengkhatirkan. Hanya 32,75% dari pekerja Indonesia mampu memiliki cadangan setidaknya untuk tujuh hari ke depan. Sementara sekitarv52,9% pekerja mengalami kesulitan keuangan pada akhir buulan dan 19% mulai kekurangan uang tunai di tengah bulan, serta 2,8% di awal bulan.

        "Saya kira ketahanan keuangan menjadi fondasi agar pekerja juga nyaman dan terus beraktivitas terus seperti biasa. Isu ini saya kira menjadi hal cukup penting apalagi di tengah situasi sekarang dan saya kira memang kalau kita lihat sudah ada revisi Undang-Undang Cipta Kerja namun yang lebih penting adalah bagaimana pekerja bisa lebih stabil dalma melakukan pekerjaannya sehari-hari," pungkas Tauhid.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Tri Nurdianti
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: