Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Buntut Kasus Rafael Alun, KPK Curigai Pegawai Pajak yang Rangkap Konsultan: Mau Menggelapkan Harta?

        Buntut Kasus Rafael Alun, KPK Curigai Pegawai Pajak yang Rangkap Konsultan: Mau Menggelapkan Harta? Kredit Foto: Antara/Dedhez Anggara
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan ada 134 pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tercatat memiliki saham di 280 perusahaan, yang beberapa di antaranya merupakan perusahaan konsultan pajak.

        Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyebut sejauh ini memang belum ada peraturan resmi yang melarang kepemilikan saham di perusahaan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN).

        Baca Juga: 134 Pegawai Pajak Punya Saham Atas Nama Istri di 280 Perusahaan, KPK: Nggak Etis, Mencurigakan...

        Namun, Pahala menilai kepemilikan saham di perusahaan, apalagi yang tertutup atau milik pribadi dan bergerak di bidang konsultan pajak, ia nilai tidak etis.

        "Kalau di bursa kita nggak pusing, itu kan bebas. Nah ini 280 perusahaan semua tertutup, non-listing. Kalau terbuka lebih banyak dari itu, tapi itu bebas dan mereka boleh beli saham di bursa," ungkapnya, saat ditemui wartawan di kantor Bappenas, Kamis (9/3/2023).

        Menindaklanjuti temuan tersebut, Pahala menegaskan saat ini pihaknya akan fokus mencari perusahaan mana saja yang bergerak di bidang konsultan pajak dari total 280 perusahaan yang masuk daftar jejaring pegawai pajak.

        Baca Juga: KPK Pelototi Sejumlah Konsultan Pajak Jejaring 134 Pegawai Kemenkeu: Ada Risiko Suap dan Gratifikasi

        Pasalnya, kata Pahala, pegawai pajak yang memiliki afiliasi dengan perusahaan konsultan pajak dinilai mencurigakan dan berbahaya karena ada risiko gratifikasi dan suap.

        "Nah kenapa kalau ini konsultan pajak jadi bahaya? Ini kan risiko orang pajak, dia kan berhubungan dengan wajib pajak, dan wajib pajak berkepentingan membayar sedikit mungkin," katanya.

        Sementara, lanjut dia, petugas pajak berkepentingan atas nama negara menggunakan wewenangnya supaya melakukan pemungutan pajak maksimum. 

        "Nah, di sinilah muncul risiko dia ketemu. Bahwa (wajib pajak) mau sedikit banget, yang (pegawai pajak) mau banyak banget. Nah, risiko yang kita bilang, bukan soal kekayaannya, kita cari korupsi. Itu yang paling mungkin, hubungan petugas pajak dengan wajib pajak paling mungkin gratifikasi dan suap. Karena kan definisi penerimaan terkait jabatan dan wewenang. Makanya itu yang kita cari," tuturnya.

        Baca Juga: Ada Rafael Alun Trisambodo di Dirjen Pajak, KPK Mulai Telusuri ‘Aktor-aktor’ di Baliknya

        Pahala lalu menjelaskan pegawai pajak yang memiliki bisnis atau membuka perusahaan perseroan terbatas (PT) apalagi yang bergerak di bidang konsultan pajak ada kemungkinan menggelapkan hartanya lewat perusahaan konsultan pajak tersebut.

        "Karena di LHKPN itu nilai perusahaannya nggak dicantumkan, cuma sahamnya aja. Kalau sahamnya 50 lembar, 1 lembarnya Rp1 juta, ya cuma Rp50 juta. Urusan konsultan pajaknya dapet Rp1 triliun ya nggak ada di LHKPN. Berisiko makanya kan," katanya.

        Baca Juga: Pejabat Pajak Kaya Raya, Hidupnya Hedonis, Said Didu: Uangnya dari Mana, Bisnisnya Apa? Janganlah Bodohi Rakyat!

        "Makanya kita bilang, lho, kok dia buka yang opsi yang berpotensi bisa mengaburkan pendapatan dia? Karena urusan pegawai pajak punya (perusahaan) konsultan pajak itu tidak etis, plus, dia membuka peluang untuk menyamarkan (harta). Nah perusahaan lainnya juga mungkin," jelasnya.

        Lebih lanjut, Pahala menyampaikan sejauh ini pihaknya baru menemukan dua dari total 280 daftar perusahaan yang memiliki afiliasi dengan 134 pegawai pajak, yang tercatat sebagai perusahaan konsultan pajak.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Alfida Rizky Febrianna
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: