Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Profesor Ini Kasih Warning Gelombang Imigran Global Lebih Besar Akan Datang ke Indonesia

        Profesor Ini Kasih Warning Gelombang Imigran Global Lebih Besar Akan Datang ke Indonesia Kredit Foto: Unsplash/Macau Photo Agency
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Profesor Rhenald Kasali mengatakan, perilaku turis asing di Bali yang belakangan ramai dibicarakan telah membuat banyak orang Indonesia kecewa.

        Pasalnya, sebagian bule dari berbagai negara yang datang ke Bali untuk berlibur kerap melanggar aturan, kebiasaan, hingga tata tertib setempat. Ini menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi warga lokal hingga turis lain yang ingin menikmati liburan.

        Baca Juga: Kunjungan Turis Asing Melonjak Berkat KTT ASEAN 2023 di Indonesia

        Melihat kondisi tersebut, Prof Rhenald mengutarakan bahwa para aparat penegak hukum wajib memiliki integritas untuk menindak para bule yang sangat berani melanggar aturan karena merugikan banyak orang.

        "Saya setuju ketika mereka (para turis asing) di Bali yang sudah sangat keterlaluan diberikan sanksi bahkan juga hukuman agar dikembalikan ke negaranya (deportasi)," kata Prof Rhenald, dalam kanal YouTubenya seperti dikutip Warta Ekonomi.

        Fenomena itu, tambahnya, merupakan masalah yang telah merugikan Bali pada khususnya dan Indonesia sebagai negara pada umumnya. 

        Ia kemudian mengaitkan datangnya para turis asing ke Bali dengan kondisi Indonesia yang dipandang lebih baik dari negara lain. Namun, perpindahan penduduk atau migrasi ini merupakan suatu pergerakan dinamis dan tidak dapat dihindarkan.

        "(Ini terjadi) ketika ekonomi Indonesia lebih baik dan keadaan dalam negeri lebih tenang dan menyenangkan, pasti akan didatangi oleh bangsa-bangsa negara lain," ujarnya.

        Prof Rhenald kemudian mengutip William L. Swing, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Afrika Selatan, "Kita tidak bisa dan tidak boleh menghentikan orang untuk bermigrasi. Kita harus memberi mereka kehidupan yang lebih baik di rumah. Migrasi adalah sebuah proses, bukan masalah."

        Pergerakan itu dapat didorong oleh banyak penyebab, antara lain jumlah penduduk atau angka fertility rate yang menurun dan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi roda perekonomian suatu negara.

        Di Indonesia sendiri, kata pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois, imigran sudah cukup banyak. Contohnya, di daerah Tanah Abang yang banyak keturunan Afrika tinggal di sana menikah dengan orang Indonesia dan memiliki keturunan yang pada akhirnya dapat dikenali dengan wajah Afrikanya.

        "Sayangnya bagi yang tidak memiliki pekerjaan akan menjadi bandar narkoba, perdagangan manusia, beragam penipuan. Di morowali banyak tenaga kerja asing, dan daerah Puncak (Bogor) etnis dari Timur Tengah yang menikah dengan gadis setempat," terang dia.

        Kejadian imigrasi ini merupakan persoalan yang muncul ketika para imigran menpersepsikan negara Indonesia lebih baik dari negaranya dibalik dengan banyak alasan dan penyebabnya.

        Contoh lain adalah Amerika Serikat. Prof Rhenald menerangkan bahwa Negara Paman Sam tidak sembarangan membuat kebijakan terkait migrasi.

        "Amerika Serikat tidak bodoh untuk mempertahankan turis-turis yang bagus. Syaratnya paling tidak, harus memiliki uang untuk menjadi permanent residence atau warga negara," tuturnya.

        Selain itu, lanjut pria yang juga seorrang pengusaha itu, AS memiliki syarat bagi calon warga negara agar memiliki keahlian (skill) atau pengetahuan (knowledge) tertentu yang tidak dimiliki banyak orang

        "Anda seorang ahli teknologi informasi atau IT yang tidak dipahami orang lain, atau Anda penerima hadiah Nobel, atau ahli bioteknologi, Anda bisa menjadi ilmuwan terpandang di dunia, mereka senang sehingga mereka dapat mempertahankan," kata Prof Rhenald.

        Namun demikian, Indonesia malah menerima turis "sampah". Ini terjadi di Bali dalam sejumlah kasus yang belakangan dilaporkan oleh banyak aparat penegak hukum.

        "Saya kira kita tidak ingin negeri kita diisi oleh orang-orang yang merusak nilai-nilai yang ada di negara kita," ujar Prof Rhenald. 

        Baca Juga: Bali Masih Seksi buat Turis Asing Nih, Bule Rusia Jadi yang Terbanyak Capai 22.104 Orang

        Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati, tambah Prof Rhenald, pada masanya mendatangkan banyak pelukis hebat ke Bali. Kemudian melahirkan budaya bagus di Bali seperti Walter Spies, Antonio Blanco, Rhudolf Bonnet, mereka diundang raja.

        "Para pelukis hebat tersebut dan lain sebagainya, mereka yang diundang Raja Ubud untuk boleh tinggal di Bali diberikan rumah dan boleh menikah dengan gadis Bali ... Tapi satu syarat yang harus dipenuhi oleh mereka adalah ajari orang-orang Bali melukis," kata sang profesor.

        Sejak saat itu, lukisan di Bali berubah dari sekadar lukisan alam biasa dan diawali mahabarata dan ramayana, dan berkembang menjadi alternatif, ekspresionis, dan naturalis, dan sebagainya.

        Dalam kalimat penutupnya, Prof Rhenald mengutip pendapat mantan Sekretaris Jenderal PBB dari Korea Selatan Ban Ki-moon, "Migrasi adalah ekspresi dari aspirasi manusia untuk mendapatkan martabat, keamanan, dan masa depan yang lebih baik. Migrasi adalah bagian dari tatanan sosial, bagian dari susunan yang sangat penting sebagai keluarga manusia."

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Muhammad Syahrianto
        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: