Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rhenald Kasali Bongkar Trik Gunakan Bahasa Adab dalam Komunikasi

Rhenald Kasali Bongkar Trik Gunakan Bahasa Adab dalam Komunikasi Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Adab dalam berkomunikasi menjadi sangat penting untuk diketahui dan dipelajari oleh semua orang agar dapat dihargai dan menghargai lawan bicara ketika berkomunikasi. Guru besar Fakultas Ekonomi UI, Rhenald Kasali, membeberkan beberapa tips yang dapat digunakan oleh seseorang agar dapat menggunakan bahasa keadaban dalam ruang publik.

Tips pertama adalah harus dapat membedakan bahasa yang digunakan kepada lawan bicara, salah satu contohnya adalah menggunakan bahasa baku dan tidak baku dengan menyesuaikan siapa lawan bicaranya.

"Saya lagi mikir saya nggak mikir Boleh Anda ngomongnya 'enggak'. Tapi ketika Anda di dalam bahasa public, Anda tidak menggunakan kata 'enggak', Anda menggunakan kata 'tidak'. Misalnya Anda tidak gunakan kata 'mikir', 'maem', tapi Anda gunakan kata 'pikirkan'. Anda tidak bilang 'pikirin' tapi 'pikirkan'. Anda tidak bilang 'maem', Anda bilangnya 'makan'. Kurang lebih seperti itu," ujar Rhenald dikutip dari akun YouTube miliknya, Minggu (6/8/2023).

Rhenald mengatakan hal yang harus diperhatikan dalam bahasa keadaban lainya adalah membedakan ilmu sebagai seorang sarjana yang sudah terdidik dengan cara menggunakan ilmu pengetahuan yang diungkapkan melalui data dan fakta yang valid.

"Jangan hanya baca satu buku doang, baca beberapa buku. Barangkali buku yang Anda baca itu sudah tidak valid lagi, sudah ditumbangkan oleh teori-teori baru. Oleh karena itu, maka bedakan ilmu dengan hasutan. Orang yang menggunakan ilmu adalah orang yang menggunakan kata-kata pilihan, fakta-fakta yang kebenarannya sudah divalidasi. Sedangkan orang yang menghasut adalah orang yang menggunakan hasrat emosinya untuk mencari pembenaran bukan kebenaran," ujarnya.

Kemudian adalah sensitif terhadap kehormatan orang lain, di mana, di hadapan orang lain, siapa pun juga, pikirkan apakah orang tersebut harus dijaga kehormatanya. Pasalnya, di ruang public, semua orang sama antarsatu dengan yang lain.

"Kehormatan di hadapan publik adalah sama bagi setiap orang. Apakah dia tukang sapu, apakah dia pemulung. Bahkan mereka yang baru keluar dari penjara dengan kita yang kehidupannya normal, berkehidupan punya jabatan, punya pangkat, bahkan Anda disebut Profesor sekali pun, semuanya memiliki kehormatan yang sama di dalam abad demokrasi ini. Maka itu hormati kehormatan mereka jangan melabelkan mereka sembarangan untuk sesuatu yang belum terbukti," ucapnya.

Rhenald melanjutkan, yang harus diperhatikan selanjutnya adalah sensitife terhadap SARA atau hal-hal yang berbau rasis akan golongan tertentu, begitu pun yang berkaitan dengan gender juga menjadi salah satu hal yang perlu dijaga.

"Sensitif terhadap gender ini adalah juga topik yang sangat penting. Kita tidak lagi menggunakan kata 'salesman', kita gunakan kata 'sales person' atau 'sales people' kalau orangnya banyak. Kita tidak gunakan kata 'cermin', kita gunakan 'charperson'. Memangnya yang bisa memimpin hanya laki-laki saja? Kalau dia perempuan, bagaimana kan bisa saja. Maka kita gunakan kata yang lebih Netral yaitu care person," ungkapnya.

Selanjutnya adalah sensitif terhadap bahasa penindasan, seperti istilah atau kata-kata yang sudah tidak pakai lagi. Contohnya adalah kata 'jongos', 'babu', 'dungu', 'otak dengkul', 'tolol' dan 'inlander'.

"Saya heran kalau masih ada orang yang menggunakan kata-kata itu barangkali dia terperangkap dan dia kurang kaya dengan diksi. Dia kurang sensitif, kurang memiliki perasaan, dan biasa orang seperti ini ada masalah dalam percintaan mereka barangkali katanya karena bahasa mengajarkan orang untuk menikmati rasa cinta di antara sesama kita sebagai umat manusia," jelasnya.

Baca Juga: Fenomena Hoaks yang Sudah Eksis Sejak Peradaban Manusia

Bahasa keadaban lainya adalah sensitif terhadap simbol-simbol negara. Pasalnya, saat ini manusia memang tidak hidup dalam suatu peradaban feodal. Tetapi sebagai rakyat, harus dapat melihat bahwa apa pun juga, siapa pun juga, apakah individu atau pejabat negara, atau pejabat biasa saja atau masyarakat biasa, semua punya kehormatan, apalagi dia itu simbol-simbol negara.

"Jadi kita bukan bermaksud feodal, tetapi bahasa menuntut kecerdasan sosial. Dalam penyampaian sosial itu, bagaimana ya, kecerdasan kita sebagai perekat, bagian dari kehidupan bersama. Anda boleh cerdas dan bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat, tapi keberhasilan Anda bukan ditentukan oleh itu. Keberhasilan Anda adalah Bagaimana Anda bisa diterima dalam society sehingga Anda bisa memecahkan persoalan dengan lebih baik dan Anda menjadi pemersatu, bukan pemecah belah," paparnya.

Baca Juga: Rhenald Kasali Dorong Bank BPD Berkolaborasi untuk Perkuat Ekosistem

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: