Keberadaan kampanye penggunaan galon sekali pakai yang dilakukan secara masif dinilai Walhi kontraproduktif dengan semangat pengurangan sampah plastik secara global maupun nasional. Karenanya, permasalahan sampah plastik yang ditimbulkan akibat peredaran galon sekali pakai patut menjadi perhatian bersama karena bertentangan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi 70 persen sampah plastik pada 2025.
"Kampanye masif yang mendorong penggunaan galon sekali pakai ini kontradiktif dengan semangat pengurangan sampah plastik," kata Juru Kampanye Perkotaan WALHI, Abdul Ghofar, di Jakarta, Rabu (10/5).
Baca Juga: Galon Sehat Berbahan PET Akan Dikenalkan di Indonesia
Walhi mengungkapkan bahwa dalam satu hingga dua tahun belakangan ini, ada satu produk tertentu yang melakukan kampanye penggunaan galon sekali pakai secara intensif. "Ada target mengurangi sebesar-besarnya penggunaan plastik, nah seharusnya penggunaan galon sekali pakai itu tidak dipromosikan secara besar-besaran," katanya.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa produksi sampah di Indonesia mencapai 68,5 juta ton pada 2021 lalu. Dari angka tersebut, sebesar 11,6 juta ton atau sekira 17 persen disumbang oleh sampah plastik. Laporan data produksi sampah plastik nasional di tahun 2021 juga menyebutkan bahwa tipe bahan plastik yang kerap ditemukan adalah Polyethylene Terephthalate (PET). Bahan tersebut merupakan kemasan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) sekali pakai.
Artinya, polusi sampah plastik AMDK masih jadi masalah yang belum teratasi di Tanah Air. Lembaga riset AC Nielsen mendapati bahwa produk AMDK menyumbang 328.117 ton dari 11,6 juta ton sampah plastik sepanjang tahun 2021.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya tingkat pengumpulan sampah plastik dan daur ulang di Indonesia. Ghofar mengatakan, angka sampah plastik yang bisa dikumpulkan secara nasional belum menyentuh 15 persen. Sementara, sampah plastik yang mampu didaur ulang baru mencapai 10 persen. Sebesar 50 persen sisanya tidak terkelola dan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Melihat kondisi itu, sambung Ghofar, penggunaan galon sekali pakai yang makin masif justru akan menambah persoalan baru. Dia melanjutkan, makin banyak produsen memproduksi galon sekali pakai, akan makin menggunung pula sampah plastik yang terkumpul.
Data Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) menyebutkan bahwa penjualan galon sekali pakai mengalami peningkatan menjadi delapan persen pada awal 2023. Apabila produsen memproduksi 100 juta galon per hari, dengan peningkatan konsumsi yang terjadi sudah ada 8 juta sampah galon sekali pakai per hari.
Artinya, potensi pencemaran lingkungan yang diakibatkan galon sekali pakai juga akan meningkat seiring dengan jumlah produksi mereka karena tidak bisa dibarengi dengan angka kolektif sampah. Terlebih, galon sekali pakai muncul dalam ukuran yang lebih kecil dari galon isi ulang sekitar 5 hingga 15 liter untuk ukuran paling besar.
"Angka daur ulang saja masih sulit disembuhkan apalagi problem galon sekali pakai, nah ini akan menambah beban angka daur ulang," katanya.
Di saat yang bersamaan, Ghofar menilai bahwa produsen memiliki tanggung jawab dalam mengumpulkan sampah plastik mereka yang beredar di masyarakat. Dia meminta agar produsen jangan hanya melakukan klaim telah mengelola persampahan plastik mereka.
Dia menyinggung upaya pengumpulan sampah plastik oleh produsen galon sekali pakai yang menurutnya justru seperti memutarbalikkan fakta di lapangan. Dia mengatakan, produsen mengandalkan pemulung yang tidak bertanggung jawab langsung kepada perusahaan untuk mengumpulkan sampah plastik mereka.
Ghofar berpendapat, perusahaan menggunakan dalih bekerja sama dengan pemulung di beberapa titik sehingga seolah-olah semua produk yang mereka hasilkan itu dikumpulkan dan 100 persen di daur ulang. Padahal faktanya, angka daur ulang di Indonesia saja masih rendah.
"Jadi saya pikir ini yang patut dipertanyakan dari galon sekali pakai, dia mengeklaim diri sebagai kemasan yang bisa didaur ulang sementara tingkat daur ulang saja masih sangat rendah. Belum angka pengumpulan yang membutuhkan effort lebih besar dari masyarakat maupun dari si pemulung itu sendiri," katanya.
Sebelumnya, Divisi Edukasi Ecoton Foundation, Alaika mengatakan kalau kesehatan 35 sungai di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sungai-sungai tersebut positif terkontaminasi mikroplastik akibat banyaknya sampah plastik.
Hal tersebut didapati setelah melakukan penelitian di beberapa sungai di Indonesia terkait audit sampah, kontaminasi mikroplastik, pengaruh dan potensi dampak mikroplastik terhadap organisme hidup termasuk manusia. Program Ekspedisi Sungai Nusantara Ecoton berhasil mengidentifikasi sampah plastik berdasarkan merek dan perusahaan yang berkontribusi terhadap sampah di lingkungan. Brand yang mendominasi di masing-masing sungai pun berbeda-berbeda.
Hasilnya, lima produk teratas pencemar yang sering dijumpai adalah Wings, Unilever, Indofood, Mayora, dan Garuda Food. Mayora selalu memasuki lima teratas pencemar pada setiap kegiatan brand audit dilakukan.
"Ke depannya kami berharap harus ada tanggung jawab produsen terhadap sampah yang telah mereka hasilkan," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: