Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Seperempat Abad Reformasi: Kebijakan Hukum Harus Berlandaskan Nilai Pancasila yang Mengedepankan Kepentingan Nasional

        Seperempat Abad Reformasi: Kebijakan Hukum Harus Berlandaskan Nilai Pancasila yang Mengedepankan Kepentingan Nasional Kredit Foto: FHUI
        Warta Ekonomi, Depok -

        Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni dan seperempat abad reformasi di Indonesia, Pusat Kajian Hukum dan Pancasila dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyelenggarakan seminar bertema "Seperempat Abad Reformasi: Menjaga Kokohnya Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional" di Kampus UI Depok yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa dan masyarakat umum secara luring dan daring.

        Dekan FHUI, Edmon Makarim, selaku pembicara kunci (keynote speaker) dalam diskusi ini, menyampaikan Pancasila sebagai sumber hukum di Indonesia bertugas menjamin kemerdekaan politik bagi seluruh rakyat Indonesia, yang bisa diperoleh apabila masyarakat mencapai kemandirian ekonomi.

        Baca Juga: Diskriminatif dan Rawan Kriminalisasi, Petani Minta Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan Dicabut

        "Meskipun faktor ekonomi memiliki peran yang besar terhadap pembentukan tatanan atau norma kehidupan bermasyarakat, namun nilai-nilai bangsa Indonesia (yang mengedepankan nilai-nilai komunalisme dan spiritualisme daripada individualisme dan materialisme) sangat berbeda dengan Barat, sehingga mustahil kita lakukan copy paste suatu sistem tanpa penyesuaian terhadap nilai-nilai tersebut," ujar Edmon, Selasa (6/6/2023).

        FHUI sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum tertua di Indonesia yang tahun depan akan berusia satu abad bertanggung jawab memastikan sistem hukum mengutamakan kepentingan nasional. Pasalnya, hukum merupakan fondasi negara sedangkan hukum yang bermuatan intervensi asing hanya menghasilkan regulasi yang melemahkan negara.

        Salah satu bentuk intervensi asing adalah pemanfaatan isu eksternalitas negatif atau dampak buruk aktivitas perekonomian seperti isu lingkungan hidup serta kesehatan, sebagai pintu masuk melemahkan sumber-sumber kunci perekonomian negara. Padahal, di baliknya terdapat kepentingan aktor geopolitik. 

        "Komoditas gula memiliki eksternalitas negatif karena membawa potensi besar bagi meluasnya penyakit diabetes, sedangkan di Indonesia gula merupakan komoditas strategis, tentunya sebagai negara yang kuat, Indonesia bukan membuat regulasi yang melemahkan industri gula namun justru mencari solusi untuk memitigasi dampak buruknya. Begitu juga terhadap Industri Hasil Tembakau kita yang pada (awal pandemi) tahun 2020 saja telah menyumbangkan lebih dari 10% total APBN, serta industri hasil kelapa sawit yang nyata telah menopang jutaan kehidupan rakyat Indonesia," jelasnya. 

        Upaya memitigasi eksternalitas negatif adalah upaya untuk mencari harmoni dalam masyarakat agar aktivitas perekonomian yang melibatkan jutaan rakyat tetap terjamin keberlangsungannya namun secara bijaksana menyelesaikan dampak-dampak buruknya dengan berpedoman pada kepentingan nasional. 

        "Seperempat abad lalu reformasi dimulai dari kampus, bayangkan apabila (hasil riset) kampus-kampus kita berhasil memitigasi eksternalitas negatif sumber perekonomian nasional serta bukan malah ikut mematikan komoditas-komoditas seperti tembaga, nikel, batu bara, gula, kopi, tembakau, cengkih, dan kelapa sawit. Lebih penting lagi dari perspektif cost and benefit analysis Indonesia tidak akan mengalami net outflow of national wealth namun justru net inflow of national wealth untuk kepentingan rakyat banyak," pungkasnya.

        Di kesempatan yang sama, Direktur Pengkajian Ekonomi dan Sumber Kekayaan Alam Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ocktave Ferdinal menjelaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alinea Pertama, ada kalimat merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

        "Ini maksudnya sangat dalam, bagaimana perekonomian kita harus merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur," katanya.

        Menurut Ocktave, peraturan perundangan yang ada harus mengutamakan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia, tidak hanya untuk kepentingan satu kelompok ataupun justru mendukung negara lain.

        Ahli Hukum Ekonomi Adat dan Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FHUI, M. Sofyan Pulungan, menjelaskan nilai Pancasila berisi nilai kebersamaan, spiritualitas, mufakat, dan nilai keseimbangan dalam keselarasan.

        Menurutnya, dengan demikian, negara memiliki kewajiban untuk mendengar, menampung, dan mempertimbangkan suara masyarakat dalam mengelola pro dan kontra. 

        Salah satu isu hukum yang tengah kontroversial saat ini karena dianggap berpotensi mengganggu perekonomian nasional adalah polemik beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang mengelompokkan produk ilegal yaitu narkotika dan psikotropika, dalam satu golongan dengan produk legal yaitu tembakau.

        Baca Juga: Tembakau dan Narkotika Dianggap Sama di RUU Kesehatan, DPR: Tidak Rasional dan Diskriminatif

        Pasal-pasal dalam RUU yang sedang dalam pembahasan di DPR ini telah memicu penolakan luas secara nasional dari para petani tembakau, serikat pekerja, organisasi Islam Nahdlatul Ulama, internal anggota DPR, hingga Kementerian/Lembaga.

        Oleh karena itu, Sofyan menegaskan, dalam merumuskan sebuah kebijakan, peran partisipasi publik dan nilai-nilai Pancasila harus dijadikan fondasi sehingga menghasilkan kebijakan yang harmonis agar tidak menimbulkan kebingungan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk dengan mencegah adanya tumpang tindih peraturan.

        "Bagaimana agar aturan ekonomi sesuai dengan Pancasila? Harus ada nilai kebersamaan, spiritualitas, mufakat dan nilai keseimbangan dalam keselarasan," tegasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: