Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tembakau dan Narkotika Dianggap Sama di RUU Kesehatan, DPR: Tidak Rasional dan Diskriminatif

Tembakau dan Narkotika Dianggap Sama di RUU Kesehatan, DPR: Tidak Rasional dan Diskriminatif Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menolak pasal yang menyamaratakan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan. Penolakan semakin bermunculan terdengar di periode pembahasan karena dinilai tidak rasional.  

"Jadi ada beberapa pandangan fraksi-fraksi yang menginginkan agar pasal soal tembakau itu dicabut dari RUU Kesehatan. Ada juga pandangan yang menginginkan pengaturannya kembali ke Undang-Undang Kesehatan yang ada," ungkap Anggota Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, kepada wartawan.

Baca Juga: DPR Heran Tembakau Disamakan dengan Narkotika dan Alkohol di RUU Kesehatan: Kok Bisa?

Memang, menurutnya, pembahasan di Panitia Kerja (Panja) Komisi IX untuk RUU Kesehatan belum sampai pada Pasal 154 sampai 158 yang membahas tentang tembakau. Namun, penolakannya sudah terjadi, terutama untuk Pasal 154 yang menyetarakan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika.

"Saya sendiri tidak setuju jika tembakau disamakan dengan narkotika, karena adiksinya kan berbeda. Kalau narkoba kan barang haram. Sedangkan tembakau kan halal dan legal," ujar Yahya kepada wartawan.

Lebih dari itu, menurut politisi dari Partai Golkar ini, kontribusi tembakau kepada perekonomian negara terbilang signifikan. Setidaknya, nilainya sudah lebih dari Rp200 triliun pada 2022 melalui cukai rokok saja.

"Sekarang sudah Rp218 triliun. Itu cukainya dan diharapkan naik terus itu, sedangkan pekerja yang terlibat dalam industri rokok itu 6 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung. Jadi posisi tembakau sangat berbeda. Sumbangsihnya kepada negara sangat besar," tegasnya.

Dari situasi itu saja, menurutnya, sudah tidak bisa disamakan dengan narkotika dan juga minuman beralkohol.

"Saya menghendaki agar pasal itu dicabut saja. Apalagi Jawa Timur adalah kontributor terbesar. IHT (Industri Hasil Tembakau) di Jawa Timur itu kontribusinya 60 persen. Kalau tembakau disamakan dengan narkotika, bisa sangat merugikan. Padahal yang satunya halal, yang satunya haram. Itu tidak boleh. Yang satunya legal, yang satunya ilegal," Yahya menjelaskan.

Terpisah, anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi sektor pertanian, Luluk Nur Hamidah, juga turut memantau polemik RUU Kesehatan yang terjadi di masyarakat pertembakauan saat ini.

"Saya bisa memahami ketika ada kelompok yang menolak RUU ini, khususnya terkait pasal 154 itu dengan menilai RUU ini tidak rasional, RUU ini juga diskriminatif, dan akan mengkriminalisasi para petani dan juga para perokok," ujarnya.

Kriminalisasi yang dimaksud, kata Luluk, karena nantinya tembakau beserta produk turunannya akan disamakan perlakuannya dengan narkotika.

"Kan otomatis kalau ini disamakan, pasti ini juga akan sangat rawan terjadi kriminalisasi. Jadi, tidak ada kata telat untuk mengoreksi, karena sudah dibahas di komisi IX," khawatirnya. 

Para penyusun RUU Kesehatan yang bersifat omnibus law ini disarankan harus lebih berhati-hati, sebab bisa memiliki dampak sosial dan ekonomi yang luas.

"Menurut saya pribadi, seharusnya pasal itu dicabut dan dikeluarkan dari RUU Kesehatan. Bukan berarti menolak RUU Kesehatan, karena prosesnya sudah jalan," ujar politisi dari PKB ini. 

Lebih jauh Luluk menilai, selain tidak adil, menyamaratakan tembakau dengan narkotika, dan psikotropika juga akan memunculkan kecurigaan yang luas.

Baca Juga: DPR dan Petani Tembakau Sikapi Polemik Pasal-Pasal Pertembakauan dalam RUU Kesehatan

"Yang kami khawatirkan juga ini bagian dari agenda yang ingin menghancurkan industri tembakau kita. Itu soal kebudayaan, ada seni, ada sejarah panjang di baliknya. Jadi, persoalan ini tidak semata-semata soal kesehatan, tapi ini soal perang ekonomi," Luluk membeberkan.

Terlebih, tembakau dan produk tembakau sudah memiliki aturan yang berlaku yang ketat. Maka akan lebih baik jika diatur terpisah dan tidak masuk dalam RUU Kesehatan.

"Misalnya, terkait soal cukai, ketentuan rokok, soal distribusi dan hak edar, serta boleh dijual dimana. Rokok itu dibuat aturan yang terpisah, bukan di RUU kesehatan," sarannya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Advertisement

Bagikan Artikel: