Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, India tentu mengalami problematika populisme yang dapat berimplikasi pada keengganan masyarakat dalam berpikiran yang lebih terbuka (open minded).
Secara umum, populisme adalah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan "rakyat" yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut "elite".
Naushad Forbes, co-chairman di Forbes Marshall, perusahaan penyedia teknik uap dan konservasi energi terkemuka di India, menjelaskan bahwa populisme memang secara umum membuat masyarakat berperilaku buruk. Namun, di berbagai konteks negara, justru populisme berdampak positif kepada masyarakat.
Baca Juga: Kenapa India Sangat Terbuka terhadap Inovasi Teknologi?
“Populisme sedang tren di banyak negara, kita bisa melihat Amerika Serikat dengan Donald Trump, Brexit di Inggris, keduanya adalah negara yang membanggakan keterbukaannya dan membanggakan diri dalam menarik banyak orang dari seluruh dunia untuk datang dan berkarier di sana. Kenyataannya di beberapa tempat, hal itu menjadi sangat positif,” kata Naushad, dikutip dari kanal Youtube Gita Wirjawan pada Selasa (13/6/2023).
“Saya juga khawatir bahwa populisme di masyarakat sering menyebabkan orang berperilaku buruk, membuat mereka ketakutan, dan menyalahkan yang lain atas masalah mereka sendiri. Jadi populisme bisa dalam bentuk seperti itu, dan ada banyak pemimpin di banyak negara yang melakukan pendekatan seperti itu,” sambungnya.
Ia mengambil contoh pada konteks Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak yang berketurunan India. Dalam konteks di India, apabila masyarakat sudah memilih pemimpin berdasarkan kemampuan bukan pada identitasnya, itulah saat ketika India sudah sepenuhnya bebas dari populisme. Namun, ia menyebut bahwa saat ini kondisi tersebut belum dapat terjadi.
“Fakta bahwa Rishi Sunak menjadi Perdana Menteri Inggris adalah pernyataan keterbukaan yang luar biasa, bukan masalah dalam perebutan jabatan perdana menteri. Saya tidak bisa membayangkan hal yang sama bisa terjadi di India saat ini. Mungkin India perlu waktu beberapa tahun lagi. Tetapi di satu sisi, mungkin ada seseorang yang lahir di India tetapi orang tuanya orang Inggris, kemudian menjadi pemimpin partai politik India dan mencalonkan diri sebagai perdana menteri. Jika itu terjadi, berarti India sudah terbuka, tapi India belum sampai ke sana,” jelasnya.
Dengan demikian, untuk mereduksi populisme dalam masyarakat, ia menyebut bahwa inklusivitas dalam hal sumber daya perlu lebih dipromosikan. Sumber daya tersebut mencakup pendidikan, akses ke modal, dan konektivitas terhadap dunia luar.
“Dan ini adalah tugas kita semua untuk mendukung keterbukaan, dan kita juga harus berbuat lebih banyak untuk memberikan masukan dan sumber daya kepada masyarakat sehingga mereka merasa lebih percaya diri bahwa mereka dapat bersaing dengan yang terbaik lainnya. Jadi, sumber daya tersebut adalah pendidikan, akses ke modal, atau kemampuan untuk berjejaring dan terhubung dengan orang di seluruh dunia dengan cara yang sangat murah, mudah, dan efisien sehingga mereka bisa mengakses teknologi dan ide, serta mengomunikasikannya,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: