- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Jokowi Banggakan Hilirisasi, Said Didu: Aslinya Penyerahan SDA ke Bangsa Lain
Mantan Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu menilai kebijakan hilirisasi yang diterapkan pemerintah saat ini sebenarnya bukan kebijakan hilirisasi yang sebenarnya. Ia menganggap kebijakan ini sebenarnya adalah penyerahan sumber daya ke bangsa lain dengan kedok hilirisasi.
Menurutnya, prinsip hilirisasi adalah berbasis nilai tambah yang dinikmati oleh bangsa Indonesia, bukan nilai tambah yang tidak bisa dinikmati oleh bangsa Indonesia. Tidak ada artinya semua bahan tambang diolah di Indonesia, tetapi tidak dinikmati oleh bangsa Indonesia.
"Itu bukan hilirisasi, itu namanya adalah penyerahan sumber daya (alam) ke bangsa lain dengan bungkus hilirisasi dan itulah yang terjadi sekarang,” jelasnya dalam diskusi virtual Hilirisasi, Industrialisasi dan Ekonomi Arah Baru yang diadakan Narasi Institute, Jumat (7/7/2023).
Baca Juga: Sebut Hilirisasi Bisa Bawa Indonesia Jadi Negara Maju, Ekonom: Lawan Intervensi IMF!
Ia juga mempertanyakan nilai tambah yang diterima oleh Indonesia dengan kebijakan hilirisasi tersebut.
“Siapa pun yang akan melakukan hilirisasi, yang akan saya nilai adalah berapa nilai tambah yang terjadi dan itu minimal 60 persen nilai tambah harus masuk ke negara,” ujarnya. Angka 60 persen yang disebutkan Didu berdasarkan contoh dari negara-negara yang sektor pertambangannya sudah bagus, seperti Kanada dan Selandia Baru.
Sebagaimana diketahui, hilirisasi adalah kebijakan yang menjadikan komoditas ekspor bukan lagi berupa bahan baku mentah, melainkan berupa barang setengah jadi atau barang jadi. Tujuan dari hilirisasi adalah untuk meningkatkan nilai jual komoditas, memperkuat struktur industri, menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan, serta meningkatkan peluang usaha dalam negeri.
Didu menilai hilirisasi yang dilakukan Indonesia justru menguntungkan pihak-pihak lain, seperti China. Ia menyebut bahwa smelter (pabrik pengolahan) nikel yang didirikan China di Indonesia justru sama sekali tidak memberikan keuntungan untuk Indonesia.
“Tenaga kerja dari China, bank dari China, semua dari China. Sudah terbukti, (pemerintah) selalu bangga mengatakan bahwa terjadi peningkatan ekspor hilirisasi dari 2 miliar dolar ke 20 miliar dolar. Tapi apa yang terjadi? Deputi Bank Indonesia menyatakan dia kaget karena ekspor meningkat, tetapi catatan devisa tidak naik. Dolarnya ke mana? Itu fakta bahwa semua hasil ekspor dinikmati oleh mereka (China),” tukasnya.
Didu menambahkan bahwa tidak ada artinya jika nilai ekspor tinggi, tapi tidak ada yang bisa dinikmati oleh Indonesia. Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintahan yang baru nanti dapat menggunakan konsep bahwa basis hilirisasi adalah nilai tambah yang dinikmati oleh bangsa Indonesia, bukan hanya mengutamakan jumlah ekspor saja.
Untuk diketahui, pemerintah telah memulai proyek hilirisasi melalui larangan ekspor bahan mentah sejak beberapa tahun lalu. Per 1 Januari 2020, Presiden Jokowi memulai pelarangan ekspor bijih nikel. Kebijakan tersebut diklaim Jokowi memberi hasil yang positif.
Jokowi menyebutkan, pada akhir 2014 nilai ekspor nikel Indonesia berada di kisaran Rp17 triliun atau US$1,1 miliar. Nilai ekspor tersebut melonjak lebih dari 19 kali lipat berkat hilirisasi nikel menjadi Rp326 triliun atau US20,9 miliar pada tahun 2021.
Kenaikan nilai ekspor tersebut menjadi acuan Presiden Jokowi untuk melakukan kebijakan serupa di komoditas lain, termasuk bauksit.
"Ini baru satu komoditas. Keberhasilan ini akan dilanjutkan untuk komoditas yang lain. Mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan larangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri," ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: