Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kebijakan Hilirisasi: Adakah Potensi Indonesia Jadi Negara Maju?

        Kebijakan Hilirisasi: Adakah Potensi Indonesia Jadi Negara Maju? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia, sebagai negara dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah, telah berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya untuk mencapai status negara maju. Salah satu strategi yang sedang digencarkan oleh Pemerintah Indonesia adalah kebijakan hilirisasi.

        Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri dengan mengolah SDA menjadi produk jadi yang lebih bernilai, serta mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah.

        Praktisi pasar modal sekaligus value investor, Rivan Kurniawan mengatakan bahwa hilirisasi dapat memberikan peluang pasar yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada peningkatan nilai tambah dari suatu produk saja.

        Baca Juga: Luhut Harap Hilirisasi Pertambangan Jangkau UMKM Lebih Luas

        “Seperti misalnya, CPO atau Crude Palm Oil atau kelapa sawit ini bisa menghasilkan produk turunan seperti minyak goreng, margarin, biodiesel, pelumas, kosmetik, bahan bakar nabati, dan lain sebagainya,” jelas Rivan, dikutip dari kanal Youtube-nya pada Senin (7/8/2023).

        Namun, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam melakukan kebijakan hilirisasi ini. Rivan mengungkapkan bahwa muncul gugatan dari negara lain. Baru-baru ini, Uni Eropa mengajukan gugatan terhadap Indonesia terkait dampak kebijakan larangan ekspor mineral mentah, terutama bijih nikel. Upaya hilirisasi industri yang dilakukan Indonesia menyebabkan ketidakpuasan dari berbagai negara terhadap kebijakan larangan ekspor bahan mentah yang diterapkan.

        “Jika Indonesia melakukan hilirisasi, produk yang dihasilkan negara lain yang memasok bahan baku komoditas asal Indonesia ini bisa kalian saling dari sisi harga, maupun juga dari biaya bahan baku yang mungkin akan lebih mahal karena sudah berbentuk bahan setengah jadi,” beber Rivan.

        Faktor ini juga disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang mewajibkan perusahaan nikel di dalam negeri untuk melakukan hilirisasi dan mengekspor produk yang telah mengalami proses hilirisasi. Dampak dari kebijakan ini membuat dunia kesulitan mendapatkan pasokan bijih nikel dari Indonesia.

        Selain dari Uni Eropa, International Monetary Fund (IMF) juga meminta penghapusan pembatasan ekspor, terutama untuk ekspor bijih nikel. IMF berpendapat kebijakan tersebut merugikan Indonesia karena mengganggu pendapatan negara dari pajak ekspor.

        Adapun tantangan lain dari hilirisasi adalah ketidakmampuan bersaing dengan harga yang kompetitif di pasar internasional. Uni Eropa telah menerapkan kebijakan antidumping terhadap produk hasil hilirisasi nikel dari Indonesia.

        Tidak hanya Uni Eropa, negara-negara lain, seperti Korea Selatan dan India, juga berencana untuk memberlakukan tindakan antidumping dan antisubsidi terhadap produk hilirisasi nikel Indonesia. Di Amerika Serikat, produk turunan nikel tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi hijau melalui kebijakan kredit pajak Inflation Reduction Rate (IRA).

        “Kondisi ini akan membuat produk hilirisasi mineral di Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar internasional karena kebijakan-kebijakan harga ini sudah diatur,” imbuhnya.

        Rivan menyatakan, kebijakan hilirisasi memiliki potensi yang besar, di mana negara dapat memperoleh banyak pendapatan dan manfaat nyata dari pengembangan industri nikel yang telah dihilirkan. Data pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia memimpin sebagai produsen nikel terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 1,6 juta ton.

        “Jika program hilirisasi nikel ini berjalan dengan lancar, nilai perdagangannya ini diperkirakan bisa mengalami peningkatan dari yang tadinya hanya Rp17 triliun saja menjadi Rp450 triliun,” ungkap Rivan.

        Hal ini menjadi alasan Indonesia dianggap berpotensi menjadi negara maju karena ketika negara lain memiliki ketergantungan terhadap produk yang dihasilkan oleh Indonesia, maka Indonesia dapat memanfaatkan kekuatan dalam produksi dan ekspor produk tersebut untuk mengembangkan ekonominya.

        Negara maju seringkali ditandai oleh kemampuan untuk memengaruhi pasar internasional melalui keunggulan kompetitif dalam produksi produk-produk yang banyak dibutuhkan oleh negara-negara lain.

        “Menurut saya, Indonesia memiliki peluang dan kesempatan untuk menjadi negara maju dengan membuat ekosistem industri kendaraan listrik, di mana semua komponen yang dibutuhkan oleh kendaraan listrik ada di Indonesia. Dengan melimpahnya komoditas, saya sendiri percaya bahwa Indonesia itu punya bargaining power atas kebijakan yang kita punya,” tuturnya.

        Baca Juga: Pemerintah Harus Benar-benar Turun Tangan Agar Hilirisasi Tercapai

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nevriza Wahyu Utami
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: