Para praktisi media meminta para wartawan agar tidak kehilangan sikap kritisnya dalam menyikapi isu BPA yang terus bergulir hingga saat ini.
Sebab, banyak yang melihat isu BPA ini tidak terlepas dari isu persaingan usaha dari industri air minum dalam kemasan (AMDK).
Salah satu pendiri organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan pengajar Ilmu Komunikasi, Satrio Arismunandar pun menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena hilangnya sikap kritis wartawan dalam menyikapi isu BPA ini, khususnya dalam memilih, memilah dan mengkonfirmasi informasi sebelum diangkat menjadi berita dan disebar ke publik.
Menurutnya, dalam membuat sebuah berita, seorang wartawan harus dengan cermat dalam memilih narasumber yang sesuai dengan materi beritanya.
Hal itu bertujuan agar berita-berita yang disampaikan ke masyarakat itu benar-benar berita yang tidak abal-abal alias hoaks.
"Dalam prinsip-prinsip jurnalistik, wartawan itu harus melihat dengan cermat apakah narasumber yang diwawancarai atau dikutip itu memang memiliki kapabilitas atau dasar keilmuan tertentu ketika dia diminta untuk menyatakan pendapat tentang hal-hal tertentu yang ditanyakan,” ujarnya.
Dalam isu BPA yang memerlukan referensi ilmiah karena menyangkut substansi kimia, menurut Satrio, yang layak untuk dimintai penjelasan itu seharusnya para pakar, dokter, dan para akademisi yang keilmuannya sangat terkait dengan masalah ini, sehingga beritanya bisa dipertanggungjawabkan.
"Menjadi sangat berbahaya kalau orang yang hanya mengklaim sebagai aktivis LSM dan segala macam kelompok yang tidak memiliki dasar keilmuan terkait BPA itu bicara mengenai hal yang sebenarnya di luar kapabilitas mereka atau di luar kemampuannya,” tukas mantan jurnalis senior Koran Kompas ini.
Dia melihat banyak narasumber yang tidak memiliki keahlian mengenai keilmuan yang terkait dengan BPA ini dijadikan narasumber oleh para media.
"Ini kan malah membuat publik bingung membacanya. Dikawatirkan lagi, apa yang disampaikan para narasumber itu malah akan membuat isu ini menjadi berkepanjangan karena mereka hanya dimanfaatkan saja untuk framing berita,” tukasnya.
Hal-hal seperti ini, menurutnya, seharusnya bisa dibaca oleh wartawan. Sayangnya, Satrio melihat dalam dunia media saat ini banyak para pekerja pers yang hanya bisa menulis berita saja tanpa memahami dan tau etika jurnalistik.
"Jadi, mereka belum bisa disebut sebagai wartawan profesional karena belum menerapkan prinsip-prinsip jurnalistik secara pas," tukasnya.
Wakil Ketua Dewan Pers periode 1999-2022, Hendry Ch Bangun juga mengatakan seharusnya berita-berita yang tidak sesuai prinsip-prinsip jurnalis itu tidak layak untuk ditayangkan.
"Buat apa dimuat," katanya.
Menurutnya, pemuatan rilis itu tergantung nilai beritanya apakah ada atau tidak. Kemudian juga sesuai atau tidak dengan visi misi media itu.
"Dan harus dicek apakah berimbang atau partisan. Sebab yang kena nanti kan medianya kalau ada apa-apa," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Anggota Dewan Pers periode 2022-2025, Agus Sudibyo. Menurutnya, media massa harus memeriksa otoritas dan kredibilitas sumber sebelum mengutip sumber tersebut.
"Otoritas dan kredibilitas sumber menentukan apakah dia layak dikutip atau tidak," ucapnya.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers periode 2022-2025, Yadi Hendriana, mengatakan berita atau sebuah kasus itu tidak boleh diiklankan di media.
Perusahaan media juga harus memberi keterangan jelas jika informasi tersebut berbayar atau ada sponsornya.
"Apalagi iklan itu merupakan sebuah berita yang menggunakan pernyataan narasumber tertentu yang dengan sengaja digiring untuk mendiskreditkan produk pihak lain, itu jelas tidak boleh," katanya.
Ketua Pokja Media Sustainability Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Hery Trianto juga menegaskan bahwa pada umumnya rilis itu perlu di crosscheck dan harus cover both side.
"Yang penting sebenarnya apakah benar informasinya, harus diverifikasi, kemudian kalau melibatkan dua pihak apalagi itu yang berkonflik seperti yang terjadi pada perusahaan AMDK saat ini, harus dicek kebenaran dari klaim-klaim yang mereka lakukan," pungkasnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Chandra Setiawan, melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
"Sebabnya, 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, dan hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai," katanya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika, juga mengatakan sangat menyayangkan adanya upaya-upaya dari pihak-pihak tertentu yang menghembuskan isu terkait bahaya BPA di salah satu produk AMDK di masyarakat.
Dia melihat isu soal BPA ini sangat sensitif. Dia meminta agar pihak-pihak yang menghembuskan isu terkait BPA ini tidak merusak pemulihan industri di tengah pasar yang belum bagus akibat pandemi.
"Apalagi saat ini fokus pemerintah adalah memulihkan ekonomi di tengah pandemi. Konsentrasi kita sekarang melakukan pemulihan industri karena pasar di dalam negeri masih belum bagus,” ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: