Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Anak Buah Sri Mulyani Bantah Faisal Basri soal Hilirisasi Justru Untungkan China

        Anak Buah Sri Mulyani Bantah Faisal Basri soal Hilirisasi Justru Untungkan China Kredit Foto: Alfida Rizky Febrianna
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo merespons kritikan ekonom senior Indef Faisal Basri bahwa kebijakan hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintahan Jokowi justru menguntungkan China.

        Prastowo membantah pendapat Faisal bahwa untuk menghindari pungutan pajak dari keuntungan hilirisasi, perusahaan pengolahan smelter nikel diberi insentif cuti pajak selama 20 tahun. Pemerintah telah menetapkan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan royalti atas nikel dan produk pemurniannya. Oleh karena itu, keuntungan dari hilirisasi tetap diterima oleh negara.

        "Bang @FaisalBasri yang baik, saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian," beber Prastowo, dikutip dari unggahan Twitternya, Minggu (13/8/2023).

        Baca Juga: Maju Pantang Mundur, Tina Talisa: Pemerintah Berikan Karpet Merah Bagi Investor Hilirisasi

        Menurut Prastowo, sejalan dengan amanat UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi. Terkait dengan kebijakan tersebut, pemerintah melakukan dua hal.

        Pertama, pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020. Kedua, pemberian tarif royalti yang berbeda antara Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang hanya memproduksi atau menjual bijih nikel dibandingkan dengan IUP yang sekaligus memiliki smelter. Tarif royalti untuk bijih nikel 10% dan tarif untuk feronikel atau nikel matte sebesar 2%.

        "Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan thd eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Utk Ijin Usaha Industri pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak2 lain (PPh, PPN, Pajak Daerah dll)," jelasnya.

        Cuitan Prastowo tersebut pun langsung dibalas oleh Faisal Basri. "Mas Pras, rasanya saya tidak keliru. Yang saya katakan adalah tidak ada pungutan sama sekali untuk ekspor produk smelter seperti diterapkan untuk sawit," ujarnya.

        "Royalti dikenakan terhadap penambang yang sebagian besar milik swasta nasional sebesar 10%. Pungutan untuk ferro nikel milik China hanya 2%. Pengusaha tambang bayar pajak badan 22%, pengusaha smelter China bebas bayar pajak badan karena dapat fasilitas tax holiday," imbuh Faisal.

        Sebelumnya, Faisal mengkritik hilirisasi nikel yang dibanggakan Presiden Jokowi. Menurutnya, 90% dari keuntungan hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah justru lebih banyak dinikmati oleh China.

        Menurut keterangan resmi dari pemerintah dan pelaku bisnis terkait, Faisal menyatakan pada tahun 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya mencapai Rp1 triliun. Meskipun ada ekspor, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang dianggap sebagai akibat dari hilirisasi pada tahun 2022 tercatat sebesar Rp413,9 triliun, yang berasal dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan dengan rata-rata nilai tukar rupiah tahun sebelumnya sebesar Rp14.876 per dolar AS. Pasalnya, sebagian besar smelter pengolah bijih nikel yang dimiliki oleh Indonesia dan China menggunakan sistem devisa bebas.

        Dengan begitu, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri. Ditambah lagi, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

        "Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," paparnya.

        Faisal pun menyebut perusahaan smelter nikel bebas pajak karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.

        Menurut Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti karena perusahaan penambang, yang sebagian besar dimiliki oleh pengusaha nasional, yang membayar royalti. Ketika ekspor bijih nikel masih diizinkan, pemerintah masih mendapatkan uang dari pajak ekspor.

        Baca Juga: Faisal Basri: Hati-Hati, Ekspor SDA Ilegal Kini Jadi Modus Korupsi

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: