- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Faisal Kritik Hilirisasi Nikel, Anak Buah Luhut Turun Tangan Bela Jokowi
Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto menyangkal berbagai data dan pernyataan yang dilontarkan ekonom senior Faisal Basri, mulai dari data ekspor produk hilirisasi nikel hingga program hilirisasi yang dibanggakan Presiden Jokowi hanya menguntungkan China.
Sebelumnya, Faisal mengkritik pernyataan Jokowi terkait keuntungan hilirisasi nikel bagi Indonesia akibat dari nilai ekspor pada 2022 senilai Rp510 triliun. Menurutnya, hal tersebut salah dan menyesatkan lantaran 90% dari keuntungan hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah justru lebih banyak dinikmati oleh China.
"Kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$27,8 miliar atau Rp413,9 triliun," papar Seto dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (13/8/2023).
Baca Juga: Anak Buah Sri Mulyani Bantah Faisal Basri soal Hilirisasi Justru Untungkan China
Padahal, lanjutnya, hilirisasi nikel Indonesia juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75. Tahun 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP ialah US$3,8 miliar dan US$2,1 miliar. Selain itu, masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73.
"Jika angka ekspor semuanya ditotal, maka angkanya adalah US$34,3 miliar atau Rp510,1 triliun. Tepat sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan," sanggahnya.
Seto juga menepis klaim Faisal bahwa nilai tambah dari hilirisasi nikel 90% dinikmati oleh investor China. Soal ini, menurutnya, cukup sederhana untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal salah. Pasalnya, jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan, seharusnya nilai manfaat dari bijih nikel yang Indonesia miliki 100% dinikmati oleh negara lain. Jadi, negara asing 100% dan Indonesia 0%. Sehingga, tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Seto, dari 100% nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor (asumsi mendapatkan tax holiday) dan 48% adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.
"Dari 48% angka tersebut, 32% dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batu bara (untuk listrik), tenaga kerja, dan bahan baku lain. Sehingga hanya 16% yang dinikmati oleh pihak supplier dari LN (Luar Negeri)," bebernya.
Berdasarkan hitungan tersebut, lanjutnya, nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN (investor dan supplier) adalah 16% ditambah komponen laba operasi 12%, sehingga menjadi 28%.
Sehingga, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32% atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53% (32% dibagi 32%+12%+16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel.
Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, sudah tidak mendapatkan tax holiday, atau bahkan ada keterlibatan investor lokal, seperti Harum Energy, Trimegah Bangun Persada, dan Merdeka Battery Materials.
"Masih banyak kekurangan dari program hilirisasi yang kita lakukan saat ini, oleh karena itu kritik dan masukan tetap kami butuhkan. Tentunya dengan dasar dan analisis yang jelas dan tidak asal tuduh apalagi sampai menyebutkan data yang Presiden Jokowi sampaikan menyesatkan," tukasnya.
Baca Juga: Maju Pantang Mundur, Tina Talisa: Pemerintah Berikan Karpet Merah Bagi Investor Hilirisasi
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: