Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kewajiban TKDN Mobil Listrik, Apa Indonesia Bisa Benar-benar Untung?

        Kewajiban TKDN Mobil Listrik, Apa Indonesia Bisa Benar-benar Untung? Kredit Foto: Bethriq Kindy Arrazy
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah berencana melonggarkan kewajiban perusahaan otomotif terkait penggunaan komponen lokal untuk mobil listrik yang diproduksi di Indonesia. Kelonggaran yang diberikan mencakup penundaan aturan wajib memakai 40% Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bagi mobil listrik pada 2024 menjadi 2026.

        Menurut Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, keputusan pemerintah untuk merelaksasi TKDN mobil listrik dari tahun 2024 menjadi 2026 memunculkan pertanyaan besar terkait keuntungan sebenarnya yang bisa diperoleh Indonesia dari kebijakan ini.

        "Saat kita menggali lebih dalam, muncul pertanyaan krusial: apakah Indonesia benar-benar akan mendapat manfaat ekonomi yang nyata dari kebijakan TKDN ini? Ataukah kita hanya akan tetap berada dalam ketergantungan pada pihak asing, terutama dalam hal penguasaan bahan baku kunci, seperti nikel?" ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Rabu (16/8/2023).

        Baca Juga: Bangun Pabrik Motor Listrik Pertama di RI, Electrum Pastikan TKDN Produknya Capai 40 Persen

        Achmad menilai kewajiban TKDN ini merupakan langkah bijak lantaran dirancang untuk mendorong penggunaan komponen lokal dalam produk impor. Namun, tantangan terbesar muncul dalam produksi baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) yang bergantung pada bahan baku kritis, seperti nikel.

        Meskipun Indonesia memiliki banyak cadangan nikel, ada paradoks: produk impor dibuat dari Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia, tetapi keuntungan ekonomi dari penggunaan nikel justru dinikmati oleh perusahaan China yang menguasai rantai pasokan.

        "Ketika TKDN direvisi hingga tahun 2026, seakan-akan kita hanya memperpanjang status quo. Meskipun kandungan lokal mencapai angka yang ditetapkan, masih sulit untuk melihat bagaimana Indonesia secara substansial akan mendapatkan keuntungan ekonomi dari potensi sumber daya alamnya," bebernya.

        Perusahaan asing yang menguasai pasokan nikel bakal tetap menghasilkan keuntungan ekonomi, sedangkan Indonesia mungkin hanya mendapatkan remahan dari nilai tambah yang dihasilkan.

        Achmad lantas memberi solusi agar Indonesia bisa meraup untung dari kebijakan ini. Pertama, Indonesia harus mengambil kendali atas SDA-nya sendiri, terutama nikel. Ini memerlukan investasi besar dalam pengembangan teknologi dan fasilitas pengolahan nikel.

        Pemerintah harus berusaha untuk memproduksi baterai EV lokal yang sepenuhnya independen—dibuat sendiri—melalui BUMN. Dengan cara ini, keuntungan ekonomi lokal tidak lagi terkonsentrasi dan hanya menguntungkan pihak asing.

        Namun, untuk mencapai tujuan ini, pemerintah harus berani dan bekerja sama yang kuat dengan industri dan lembaga riset. Dalam jangka panjang, rencana harus berkonsentrasi pada upaya konkret untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya asing dan memeroleh kemandirian dalam produksi baterai EV.

        "Ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi merupakan langkah penting untuk membuka pintu menuju masa depan perekonomian Indonesia. Dengan mengambil kendali atas SDA kita, mengembangkan teknologi lokal, dan meraih kemandirian dalam produksi baterai EV, Indonesia dapat mengubah permainan dalam industri ini dan mendapatkan manfaat ekonomi yang substansial serta kedaulatan atas SDA-nya," tukasnya.

        Diketahui, Presiden Jokowi meneken Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan pada 8 Agustus 2019. Perpres ini mengatur sejumlah hal terkait dengan TKDN kendaraan listrik. Untuk kendaraan roda empat atau lebih, tingkat komponen dalam negerinya sebagai berikut:

        1. Tahun 2019 sampai dengan 2021, TKDN minimal sebesar 35 persen
        2. Tahun 2022 sampai dengan 2023, TKDN minimal sebesar 40 persen
        3. Tahun 2024 sampai dengan 2029, TKDN minimal sebesar 60 persen
        4. Tahun 2030 dan seterusnya, TKDN minimal sebesar 80 persen

        Baca Juga: Bahaya! Elon Musk Harus Khawatir Nih, Raksasa Mobil Listrik China Siap Mendunia, Tesla Bakal Tertinggal!

        Meski begitu, aturan ini bakal direvisi oleh pemerintah dengan alasan untuk menarik lebih banyak investasi. "Untuk Electric Vehicle (EV) kita lakukan agar supaya menarik investor, kita akan relaksasi untuk 40 persen yang tadinya di 2024 kita mundurkan sampai 2026," kata Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita di ICE BSD, Tangerang, Kamis (10/8/2023).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: