CoinGecko: Nambang Satu Bitcoin di Lebanon Lebih Murah 783 Kali Dibandingkan dengan Italia
Laporan terbaru mengatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam biaya listrik rumah tangga untuk para penambang Bitcoin individu di seluruh dunia. Sebagai contoh, biaya menambang satu Bitcoin di Italia mencapai US$208,560 (Rp3,18 miliar), sedangkan di Lebanon, biayanya sekitar 783 kali lebih murah.
Dilansir dari Cointelegraph, Senin (21/8/2023), laporan yang dipublikasikan pada 17 Agustus oleh CoinGecko tersebut mengungkapkan bahwa berdasarkan biaya listrik, hanya terdapat 65 negara yang menguntungkan bagi para penambang Bitcoin tunggal. Dari jumlah ini, 34 negara berada di Asia, sementara Eropa hanya memiliki lima negara.
Namun, para penambang Bitcoin tunggal menemui ketidaksamaan dengan rata-rata biaya listrik rumah tangga di seluruh dunia.
Baca Juga: SpaceX Milik Elon Musk Dilaporkan Jual Rp5,6 Triliun Bitcoinnya Pada 2021-2022
"Rata-rata biaya listrik rumah tangga untuk menambang satu Bitcoin adalah US$46,291.24 (Rp707,3 juta), yang 35% lebih tinggi dari harga rata-rata harian satu BTC pada Juli 2023 (US$30,090.08 atau sekitar Rp459,7 juta)," catat laporan tersebut.
Laporan tersebut juga mengidentifikasi Italia sebagai negara dengan biaya penambangan Bitcoin paling mahal, yaitu US$208,560 (Rp3,18 miliar) per Bitcoin. Pada saat laporan ini dipublikasikan, ini mengindikasikan bahwa biaya menambang satu Bitcoin di Italia setara dengan nilai sekitar delapan Bitcoin. Selanjutnya, diikuti oleh Austria dengan biaya US$184,352 (Rp2,81 miliar) dan Belgia dengan biaya US$172,382 (Rp2,63 miliar).
Sementara itu, tarif listrik rumah tangga di Lebanon memungkinkan para penambang individu menghasilkan satu Bitcoin hanya dengan biaya US$266 (Rp4,06 juta). Berdasarkan data ini, biaya ini sekitar 783 kali lebih murah daripada biaya untuk menambang satu Bitcoin di Italia.
Lalu, diikuti oleh Iran dengan biaya produksi sebesar US$532 (Rp8,12 juta) per Bitcoin. Namun, meskipun Iran melegalkan penambangan Bitcoin pada tahun 2019, negara tersebut sejak itu beberapa kali melarang operasi legal dengan alasan beban pada jaringan energi selama musim dingin.
Pada 4 Januari, Cointelegraph melaporkan bahwa sekitar 150.000 peralatan penambangan kripto disita oleh Organisasi untuk Pengumpulan dan Penjualan Properti Negara Iran.
Pada 19 Agustus, CEO Binance, Changpeng Zhao (CZ) mengunggah tangkapan layar data laporan ini di X (sebelumnya Twitter), mengajukan pertanyaan kepada 8,6 juta pengikutnya mengapa individu-individu di negara-negara dengan biaya listrik rendah tidak menambang Bitcoin.
Namun, CZ percaya mungkin ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Namun demikian, ia mengusulkan bahwa hal tersebut layak untuk dieksplorasi lebih lanjut.
"Laporan ini mungkin tidak mempertimbangkan kelayakan dan logistik lainnya, tetapi jika data ini benar, pasti ada beberapa peluang potensial," ujarnya.
CZ mengakui pengguna X yang menjelaskan bahwa banyak dari negara-negara ini kekurangan pasokan listrik yang cukup bagi mereka untuk memanfaatkan biaya listrik murah.
Baca Juga: Para Peretas Asal Korea Utara Berhasil Curi Rp30,5 Triliun Kripto Sejak 2018
"Sebagian besar negara-negara ini menghadapi kekurangan listrik dan biasanya mematikan industri berat mereka di musim panas atau selama jam sibuk," tutur pengguna X tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: